Lembayung senja memayungi langit biru. Dari sana kutatap perpaduan warna begitu indah menentramkan hati. Masih saja kupertahankan laju motorku, yap 20 km/jam, saya sengaja melakukan itu. Ingin rasanya mengulang semua yang pernah terjadi disini kala senja itu. Bersepeda motor beriringan dengannya dan seorang temannya selepas bertandang ke walimahan salah seorang teman. Saya dan dia kini akan terpisah jarak. Ya, saya akan meraih cita saya kembali lagi ke Yogyakarta dan merajut mimpi untuk bekerja di Rumah Sakit.
“Dik Faya..” tuturnya lewat WA waktu itu. “Barakallah ya, Magelang menunggu buah perjuanganmu.” lanjutnya. Nice, jujur saat itu tak sepatah kalimat pun saya tulis sebagai balasannya. Hanya sebuah senyum dan desir perasaan yang tak menentu. Kalimat terakhirnya begitu aneh, namun saya berfikir itu pasti hanya sebuah doa biasa yang tak bermakna sampai kehatinya. Jelas saja, karena semenjak kesibukannya untuk mengurus bisnis, dia nampak biasa-biasa, sikapnya aneh, membalas sms pun hanya sekenanya, terbilang sangat singkat dengan nada yang datar, tak biasanya yang selalu berusaha memberikan kekuatan semangat lewat kata. Tapi memang sudah selayaknya semacam itu, memang sudah seharusnya seperti itu menjaga hubungan komunikasi antara ikhwan dan akhwat.
Telpon saya langsung berdering. “Mbak Khaira” batinku. Saya baru sadar ini sudah hampir jam 15.00 WIB. Langsung ku percepat laju kendaraanku. Hari ini saya Liqo’. Mungkin ini bisa disebut liqo’ perpisahan. Rumah mbak Hesti menjadi tempat favorit kami berkumpul, karena memang strategis dan kondisi lingkungan yang nyaman. Seperti biasa, saya disambut mbak Hesti dan mbak Khaira. Salut dengan murabbiku satu ini, begitu serius dan tepat waktu. Setelah itu satu persatu teman liqo’ berdatangan.
Dari awal liqo’ hingga akhir saya hanya terdiam, fokus mencatat dan menunduk bahkan sesekali saya tersenyum karena disapa mbak Hesti. Kebetulan saat itu kami sedang membahas fiqh nikah. Jelas mbak Hesti tahu sekali kalau saya memang ingin cepat menikah, makanya beliau suka sekali menggodsaya.
“Dik Faya gimana RSI Nur Jannah nya?” tanya mbak Khaira pelan. Saya tergagap dengan pertanyaan tadi, sedari tadi saya masih bermain dengan pikiranku. Saya baru sadar kalau Ikhwan itu telah meracuni pikiranku hingga jiwa saya tak terasa hadir di lingkaran kecil ini.
“Oh iya mbak, Insya Allah minggu depan saya sudah aktif kerja di RSI Nur Jannah” sahutku disambut senyum lega seluruh teman liqo’.
Alhamdulillah tadi pagi, saya mendapat panggilan untuk tandatangan kontrak dari RSI Nur Jannah. Iya Alhamdulillah cukup menggembirakan. Menginggat penantian ini cukup lama. Dan saya tahu betul ternyata alih profesi tidak membuat saya bahagia. Tapi jujur saya senang karena banyak pelajaran yang saya dapatkan saat menjadi guru SD. Mengelola kelompok, management waktu, ikhtiar, parenting, agama, sampai memahami psikologis anak. Memang tidak menyeluruh tapi setidaknya ini pengalaman pertama yang tidak bisa dilupakan.
♥♥♥
Yogyakarta menyambutku dengan mesra, iya saya bahagia disini, bahkan tak pernah saya sangka ibu kost mempunyai kebun strawberry ukuran 2 x 2 dan dari teras tingkat rumah kost nampak hamparan kebun strawberry mini, jadilah hampir sering saya memandang indahnya kebun ini. Meski belum tercapai impian tuk memiliki kebun sendiri, setidaknya telah tercapai keinginan memandang kebun ini tanpa membayar dan merawat. Alhamdulillah, penghuni kost ini pun seperti cukup ramah, sebagian besar mahasiswi, tapi tidak masalah, toh umur saya tidak jauh beda dengan mereka.
Namanya juga hidup, butuh perjuangan. Saya berjuang untuk kerasan di tempat kerja, adaptasi tentu, kerinduan pulang tentu, namun profesional diperlukan. Saya kelola hati ini, saya tata agar niat untukNya tetap terjaga sehingga, terasa ikhlas dan ringan semua yang dikerjakan. Banyak pelajaran hidup disini, konsisten dalam berkerja, kreatif berfikir, dan kedewasaan.Februari, Maret, April 3 bulan cukup untuk adaptasi, tebar senyum kepada senior dan senior lain profesi. Rutinitas pekerja jelas membuat jenuh, hampir mirip seperti yang saya rasakan waktu PKL rumah sakit dulu. Kini baru saya tahu bekerja pada kompetensi saya pun tidak mudah, capek dan tentunya butuh keikhlasan. Oke, don’t worry saya yakin bisa! “Semangat Faya!”
“Mbak Faya, tolong bantu saya ya skrining pasien baru diruang mawar,” ucap bu Dewi, salah satu akhwat rumah sakit itu yang 1 bulan lalu baru saja merasakan sensasi dan kenikmatan menjadi ibu baru. “Badan saya pegal-pegal ni, mau cuti dulu dua hari, bukan hanya skrining saja ya mbak, yang jelas tugas-tugas saya dibangsal mawar tolong dikerjakan ya!” timpalnya yang lalu berlalu menuju ruang ahli gizi. Setelah dirangkulnya sebuah tas punggung, dia berlalu sembari tersenyum dan berkata “Jazakillahu khoiron katsir, semangat!” dan menepuk pundakku.
‘Whats? Kapan saya menyetujui ucapannya?’ batinku, yang serempak kedua mata ini langsung menatap meja bu Dewi yang penuh dengan setumpuk tugas. Sampai-sampai saya tak sadar kalau disamping saya sudah berdiri pak Hamdan, dia adalah koordinator ahli gizi ruangan. Sebenarnya pantasnya dipanggil mas karena umurnya juga masih 27 tahun, namun prestasi akademis memuaskan hingga kini hampir mendapatkan gelar Magister Kesehatan. Satu yang perlu saya tambahkan beliau belum menikah, tapi ya so what? Ternyata memang tak banyak yang antri karena segan dengan sikap dan kepandaiannya. Masih ingat saya, saat pertama kali ditraining dia dilapangan bersama 1 ahli gizi baru di rumah sakit ini. Ternyata yang dia inginkan adalah kerja teliti, cermat dan tepat. Untunglah bukan kerja perfect, namun tetap saja satu kesalah langsung membuat mata bulat yang tertutup kacamata melirik saya tajam dan anehnya dengan disertai senyum sinis. Oke, tak apalah bagi saya ini adalah tantangan menjadi ahli gizi, ini dunia nyata, kami menyentuh pasien jadi musti hati-hati, nice!
“Woy anak kecil!” ledeknya dengan nada nyaring tanpa dosa, yap sejak pertama kali bertemu memang dia sudah mengutarakan dengan kalimat, “kasihan ya kamu, ahli gizi tapi stunted”, maklumlah tinggi saya cuma 148 cm. Ya Rabb dulu sempet benci banget ketemu dia gara-gara dikatain seperti itu, tapi sudahlah toh dia relasi kerja saya, harus baik-baik. Sudah bisa menjadi pegawai rumah sakit ini saja merupakan satu prestasi yang membanggakan. “Ayo kerja, pasiennya bisa mati kelaparan kalau kamu kelamaan bengong gak bikin menu diit!” timpalnya.
“Sip pak!” sahutku dengan senyum lebar. Saya sudah biasa kalik dibegituin dia, jadi saking kebalnya saya udah anggap dia alarm penyemangat. Habis tiap dia ada diruangan, hampir satu isi ruangan mendadak kerja cepat, serius dan tentunya memuaskan. Yang membuat saya salut dengan dia adalah kata-katanya, ‘ IPK kamu 3,15, saya gak masalah! Karena saat kerja yang dibutuhkan bukan IPK tapi karya nyata, pemikiran nyata, itu kan cuma simbol prestasi, belum tentu kamu dapat IPK segitu karena kamu males-malesan atau gak mau ngerjain tugas. Saya lihat IP mu jatuh di semester 1, 2 dan 3, nyatanya saat semester 4, 5, 6 IP mu cukup bagus, rata-rata 3,3. Saya percaya kamu terlalu jujur, hingga mengerahkan semua tenaga dan pemikiranmu sendiri saat ujian maupun ngerjain tugas, saya hargai prestasimu, toh diijazahmu terkategori sangat memuaskan. Ingat ya, saya gak mematok tugas kamu ataupun kinerjamu dari IPK segitu, karena saya percaya sebenarnya potensimu lebih dari itu.’ Super sekali, tak pernah menyangka itu kalimat yang bakal pak Hamdan ucapkan. Kalimat dipenghujung training saya dan teman saya, Imel. Maka dari itu saya selalu berusaha untuk tidak mengecewakannya, terlebih atas kepercayaannya menempatkan saya sebagai tim ahli gizi ruangan. Cuma satu katanya, saya percaya lulusan Akzi. Nice sekali! Itulah salah satu yang menguatkan saya untuk bekerja disini, meski terkadang kerinduan terhadap Magelang selalu terlintas. Masih ingat telpon ibu waktu itu.
“Ya, gimana kabarnya? Seneng kerja disana, kalau butuh apa-apa sms saja nanti kirim lewat paket!” ucap ibu yang memang terdengar setengah menampik tangis rindunya. Iya meski Yogyakarta dan Magelang dekat, tapi kerja secara shift membuat saya kurang leluasa pulang ke Magelang.
“Alhamdulillah baik, iya bu. Ibu dan bapak gimana kabarnya baik kan, sehat kan, Faya rindu” ucap saya dengan senyum terkembang, namun saya akui saat itu mata saya mulai berkaca-kaca. 1 jam lebih kami berkangen ria lewat udara, hingga pulsa ibu habis. Baru kali itu beliau menelponku hingga pulsanya habis. Maaf ya bu menghabiskan pulsamu, bersabarlah bu, pak, ini adalah pembuktian cinta Faya. Faya di Yogyakarta untuk kalian, untuk membalas cucuran keringat kalian demi biaya sekolah Faya selama18 tahun, dari TK hingga kuliah D3.
Saya jadi teringat pesan ibu sebelum berangkat ke Yogyakarta. “Kini kau menjadi imam sholat ibu, dulu ibu yang selalu mengimami sholatmu. Itu tanda ibu percaya pemahaman agamamu lebih baik dari ibu. Ibu yakin kamu gadis yang sholeh, tetaplah julurkan jilbabmu menutup dada, tetaplah seperti ini, jagalah dirimu dan dienmu baik-baik. Bergaulah dengan baik dan jangan melampaui batas. Tegaskan prinsip dienmu dalam bergaul. Jagalah tilawahmu, sholatmu, puasamu, zakatmu dan dzikirmu. Dan berdoalah, berdoa itu penting jauhkan malapetaka, datangkan cinta dan ridhoNya.” ucap ibu sembari mengelus kepala saya. Saat itu saya sedang sungkem dengan beliau, jujur saat itu air mata saya menetes tidak berhenti mengalir.
“Bekerjalah dengan sungguh-sungguh, jagalah amanat yang diberikan. Layani orang dengan baik, jangan sampai salah memberikan diit ataupun suatu keputusan. Bekerja dengan baik ya, kalau di masyarakat janganlah ikuti organisasi yang menyesatkan, jangan sampai ikut yang aneh-aneh. Yang biasa-biasa saja. Bapak dan ibu selalu berdoa yang terbaik untukmu.” tambah bapak. Saya langsung mencium kedua pipi mereka dan bergegas naik motor mengingat langit mulai mendung. Langit memang mendung, tapi hatiku tidak semendung langit kali ini. Ini senja terindah dalam episode hidupku. Aku akan menjadi ahli gizi esok.
♥♥♥
Meski bekerja disini lumayan menguras tenaga dan pikiran, namun alhamdulillah liqo’ tetap jalan. Senja ini memang berbeda dari senja minggu kemarin, jujur dari tadi malam sudah susah tidur padahal pagi-pagi buta saya harus berangkat ke RSI Nur Jannah.
Taman mini dibelakang rumah mbak Nurfi yang biasa mereka sebut Roudotul Jannah alias RJ merupakan tempat favorit lingkaran kami. Kalau boleh berimajinasi mungkin saat kita tilawah Al-Qur’an disini seperti diliputi lingkaran yang memancarkan cahaya ke langit, diliputi oleh malaikat yang mendoakan keselamatan dan kebaikan dunia akhirat. Indahnya. Semoga bukan hanya imajinasi saja semoga kenyataan bukankah
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu masjid dari masjid-masjid Allah kemudian mereka membaca Al-Qur’an dan mempelajarinya, melainkan turun kepada mereka ketentraman, diliputi dengan rahmat, dinaungi oleh malaikat, dan disebut-sebut oleh Allah dihadapan mahluk-Nya.” (HR. Muslim)
Subhanallah. Aamiin ya Rabb.Mbak Nurfi adalah murrabbiku yang baru, beliau sudah menikah. Suami beliau cukup aktif dalam dakwah kampus dan kini aktif bekerja di sebuah rumah zakat di Yogyakarta. Umur pernikahan mbak Nurfi terbilang masih muda yaitu 3 tahun, mbak Nurfi dan pak Alif nama suaminya dikarunia keturunan seorang ikhwan bernama Arif. Sekarang calon mujahid kecil itu berumur 2 tahun.
Teman-teman liqo’ baru saya ada 5 orang, 3 orang mahasiswi dan 2 orang pekerja. Mereka juga merantau sama seperti saya. Nisa, Acik, asli Jakarta dan masih kuliah disini. Acik memang terbilang akhwat gaul dan suka sekali dengan full colour tapi masih sewajarnya, sedangkan Nisa tipe akhwat semester akhir yang gemar hiking. Rossa, asli Magelang kalau dia ini ke Yogyakarta karena bekerja, dia komikus loh, gila ngambar dan imajinatifnya mirip saya, bedanya kalau saya imajinatif nulis kalau dia imajinatif ngambar. Nah si Rossa ini baru 1 bulan kemarin nikah. Cie pengantin baru, saya sering curhat sama dia maklum kita kan satu aliran, aliran imajinatif hehehe. Lalu Syarah, nah kalau dia itu bekerja di apotek nah dia itu satu-satunya yang asli Yogyakarta selain mbak Nurfi. Orangnya teliti banget, maklum anak farmasi dan pecinta kebersihan. Jadi boleh dibilang saya cukup menyatu dengan mereka karena dari segi umur yang tidak terlampau jauh, terutama si Rossa yang dulu memang mantan penghuni kamar kost sebelah saya.
“Dik Faya, sudah siapkan kalau suatu saat nanti saya main kerumah?” selidik mbak Nurfi yang jujur membuat saya tersedak. ‘main kerumah?’ Maksudnya apa ya?
“Iya siap lah mbak” sahut saya heran.
“Aku ikutan mbak” sambung Nisa. “Mbak Faya disana ada gunung apa aja?” lanjutnya.
“Merapi” sahutku sambil tersenyum kecut. Mulai deh nich anak berimajinasi naik gunung. Saya rasa tadi itu pertanyaan basa-basi karena dia kan sudah 2 kali turun gunung naik gunung Merapi. Heran deh lama-lama saya doain dapat orang gunung hehehe. Asyik kalik ya tinggal di gunung kan udara masih segar banyak tumbuhan, lahan luas.
“Gak bosan pa anti naik gunung turun gunung? mending bikin rumah digunung aja?” serobot Rossa.
“God idea mbak, nanti dibikinin rumah disana ya mbak, mbak yang desain, rumahnya lantai 2 dari kayu pokoknya bahannya alami, ruang tamunya ada tungku eh perapian kayak luar negeri itu loh bla...bla...bla...” sambung Nisa.
Ya... ya.... oke deh senja itu palah tidak jadi sesi qordho ya rowa’i tapi palah talkshow antara Rossa dan Nisa. Mbak Nurfi, Acik, dan Syarah palah nimbrung dan nambah bumbu-bumbu penyedap pula hehehe kayak masakan aja. Sedangkan saya asyik mencicipi makanan, maklum lapar. Kalau lapar gini baru sadar kalau sekarang beneran jadi anak kost. Tapi sebenarnya masih ada yang menganjal dihati, tadi maksud pertanyaan mbak Nurfi apa ya.
♥♥♥
2 Hari lagi tanggal merah, yee tadi sich pak Hamdan bilang "tuh ada tanggal merah pulang lah perbaikan gizi." Hahaha salah tuh pak Hamdan bukan perbaikan gizi tapi perbaikan malarindu, kangen rumah.Saat sedang asyik membereskan peralatan kerja, HP saya berdering, sms rupanya. Isinya mbak Nurfi ingin mampir kerumah pas liburan besok. Hem, agak aneh rasanya tapi tidak apa-apa toh saya palah senang mereka main kerumah. Asyik besok juga kebetulan kakak saya dari Jakarta pulang, maklum mbak saya udah kangen rumah, bapak ibu juga sudah kangen cucu. Wah lengkap, pasti ramailah rumah saat itu. Tanpa berpikir panjang langsung saya balas,“Wa’alaikumussalam boleh donk mbak.”
1 mei saya memang dapat jatah shif siang. Jadi baru pulang kerumah pada paginya, 2 Mei. Hem, saking semangatnya pulang, habis subuh langsung melesat ke Magelang. Dingin tak terasa. Baru sampai jembatan fly over di Jombor aja senyum udah tersungging. Bahagia rasanya, akhirnya anak bungsunya bapak ibu pulang. Ternyata Magelang sudah berubah makin cantik saja, baru sampai Kali putih saja laju motor saya perlambat menjadi 40 km/jam padahal jalan sepi, saking senangnya pulang magelang dinikmati betul-betul udara segar Magelang dan jalan yang kini tambah halus. Diaspal terus coy! Oh Magelang I’m comming..... teriak saya dalam hati.
Magelang adalah kota kecil yang begitu sejuk, kata orang Magelang itu kota tenang jarang ada keributan, orangnya juga ramah termasuk saya hehehe. Disini terkenal Borobudur ada juga arum jeram kali elo. Oh ya, sampai lupa ada taman bunga alias kyai Langgeng. Nah yang ini semacam TMII tapi bentuk mini nya.
Kalau rumah saya dekat dengan bukit Tidar, bukit Tidar itu biasa dipakai untuk upacara bendera 17 Agustus, dulu pas masih SMA, saya dan teman-teman jalan kaki bersama menuju puncaknya dan upacara disana. Disana juga ada makam Kyai Spanjang. Setahu saya dulu memang banyak orang yang sering ziarah kesana. Kalau waktu kecil, saya sich bukan ziarah tapi naik puncaknya, biasa iseng bersama tetangga saya. Bukit tidar sendiri masih asri bahkan ada kera yang masih menghuni sana.
06.30 WIB saya sudah sampai depan rumah disambut mesra bapak saya yang sedang asyik menyapu trotoar depan rumah kami. Dan ternyata dibelakangnya sudah ada pengikut kecil, dik Ammar duh lucunya nich anak. Jadilah kami duduk diteras sambil cerita ngalor ngidul dan tanpa sadar saya masih memakai jaket dan menggendong tas ransel.
12.30 WIB mbak Nurfi sms saya kalau setengah jam lagi dia akan meluncur kerumah. Agak heran sebenarnya karena beliau belum tahu persis rumah saya tapi tidak tanya sama sekali dimana letaknya dan lain sebagainya. Heran, tapi entahlah tidak begitu saya pikir sampai ke hati karena setahu saya nenek pak Alif sendiri orang Magelang, tinggalnya di daerah rindam, jadi mungkin pak Alif lumayan tahu letak rumah saya.
13.00 WIB rombongan kecil itu datang kerumah, tapi saya tidak menyangka ada 2 ikhwan yang mengekor keluarga kecil itu. 2 ikhwan yang tidak asing lagi bagi saya. mas Fath dan mas Alam. Saat itu jantung saya seperti ingin saya letakkan saja karena saking berdetak kencangnya. “ada apa sebenarnya ini” batin saya.
Alhasil heninglah suasana waktu itu. Yang terdengar hanya celotehan Mbak Nurfi yang sibuk menyuapi roti brownies ke Arif. Pak Alif sendiri terlihat sibuk mengeluarkan map hijau entah apa isinya. Sedangkan mas Fath sibuk menikmati teh hangat dan mas Alam nampak gelisah dan sesekali memandang ke arah pak Alif.
Mas Fath dan mas Alam adalah kakak kelas saya waktu SMA, tapi kami beda SMA. Kami kenal pada saat ada perkumpulan aktifis dakwah sekolah. Isinya anak Rohis dari beberapa SMA. Ya kami dibina jadi mentor untuk adik kelas. Mengisi kajian pekanan. Dan setelah menjadi alumni, kebetulan kami masih aktif menghidupkan dakwah sekolah, mengadakan acara ini itu dan jadilah cukup kenal. Bahkan dulu sebelum jadi alumni sering ada acara silaturahmi keliling 2 bulan sekali makanya cukup paham rumah sesama anggota. Terlebih lagi setelah menjadi alumni, kami dibentuk menjadi trainer yang mengisi atau menjadi panitia pembantu kegiatan dakwah sekolah. Jadilah ukhuwah yang mengakar sampai sekarang.
Kalau pun dulu saya menaruh hati pada mas Fath mungkin itu kekhilafan saya yang kurang bisa menjaga hati. Karena tidak selayaknya kita mengotori dakwah ini dengan perasaan semacam ini. Saya tahu cinta itu fitrah tapi cinta sesama aktifis akan menyebabkan loyo, tidak bersemangat berdakwah, niatan berdakwah terkotori, dan dikawatirkan menjadi timbul fitnah. Maka betapa sulitnya menjaga hati dan betapa pentingnya gadhul basor agar hati lebih terjaga. Virus merah jambu adalah virus yang susah dideteksi dan mampu melumpuhkan ghiroh penderitanya apabila tidak dikelola dengan baik.
“Afwan kami datang siang-siang,” ucap Pak Alif memecah keheningan saat itu. “ Mungkin mengganggu istirahat dik Faya” lanjutnya yang disambut senyum manis mbak Nurfi kepada saya.
“Emmm,, tidak mengganggu kok, palah senang jadi rame.” ucap saya sedikit tergagap.
“Begini dik, mungkin awalnya saya kenalkan dulu dua ikhwan ini?” ucap mb Nurfi dengan senyum meledek. Saya langsung memanyunkan bibir sembari menepuk halus pahanya.
“Dik Faya masih inget saya dan teman saya ini kan?” sahut mas Fath. Mendengarnya saya hanya tersenyum kecil.
“Ya, nampaknya dua makhluk ini tidak usah dikenalkan pasti masih ingat ya dik Faya?” serobot pak Alif.
“Nggih pun langsung aja mas?” alih mbak Nurfi sembari melirik Pak Alif.
“Iya sebelumnya saya mau memperkenalkan diri, saya pak Alif murabbi dari Alam. “ ucapnya pak Alif. Saya hanya terheran tidak mengerti kemana sebenarnya arah pembicaraan akan dibawa.
“Dik afwan sebenarnya prosedurnya bukan seperti ini harusnya mbak kenalkan dulu baru setelah setuju dibawa ke rumah. Tapi pak Alif dah yakin tuh, dah pede katanya Alam juga sudah mantap.” serobot mbak Nurfi yang jujur langsung menohok hati saya. Jujur saat ini ingin rasanya menyingkir, tapi tubuh terasa mematung di kursi cokelat ini.
“Iya benar, afwan sebelumnya.” tangkas pak Alif. “Kami kesini untuk proses ta’aruf.” Kalimat terakhir pak Alif semakin membuat saya tambah mematung. “ Afwan kalau membuat dik Faya bingung. Kemarin dik Faya sudah mengisi biodata begitu juga Alam mengisi biodata. Beberapa biodata sudah sampai tangan Alam dan sudah diistikhorohkan ternyata anti jawabannya?” tambah pak Alif yang langsung memberikan map hijau yang ternyata berisi biodata mas Alam yang kemudian diberikan kepada mbak Nurfi dan disalurkan kepada saya. Ya tangan saya sampai dingin memegang map itu, mbak Nurfi yang mengetahuinya hanya melirik dan tersenyum manis kepada saya.
“Afwan ya dik Faya, ini semua usulan saya dan sudah di acc Pak Alif.” ucap mas Alam pelan. “Afwan kalau saya lancang atau terlalu nekat, mungkin anti kaget atau marah, tapi jujur saya rasa niat baik harus disegerahkan, namun semua keputusan sekarang ditangan anti. Anti dapat mempelajari dulu proposal saya. Saya juga tidak mengharuskan anti menjawabnya sekarang. Anti istikhorokan dulu saja” lanjutnya bijak.
Saya tidak menyangkan kenekatan yang pernah saya lakukan dulu dibalas dengan sangat indah saat ini. Jujur meski kata-kata itu bukan diucapkan mas Fath, tapi saya bahagia karena ada ikhwan seberani dan semantap itu. Ini yang saya impikan. Bukti nyata bukan gombalan semata. Setahu saya mas Alam memang ikhwan yang tegas, serius, dan fokus, agamanya juga bagus. Keluarganya juga baik. Tapi semua itu tetap harus saya istikhorohkan dan saya ceritakan dengan bapak ibu.
“Bapak ibu ada?” ucap pak Alif.
“Emmm ada” ucap saya yang langsung masuk dalam rumah dan memanggil bapak ibu. Saya tidak mengerti semuanya terbilang cukup cepat. Mas Alam langsung berkenalan dengan bapak ibu dan membicarakan niatan baiknya tanpa mendzolimi saya sama sekali karena berkali-kali diucapkan, namun itu tergantung dik Faya.
2 hari setelah pertemuan itu saya langsung didesak pertanyaan oleh bapak mengenai kelanjutan niatan baik ini. Tidak menyangka bapak setuju dengan niatan baik mas Alam untuk menikahi saya. Padahal setahu saya bapak orang yang cukup teliti memilih calon mantu dan mensyaratkan kemapanan. Sedangkan mas Alam baru saja lulus kuliah dan belum diwisuda. Status pekerjaannya juga masih asdos (asisten dosen). Kata bapak, "Bapak sudah terlanjur mantap dengan keberanian dan kebaikan agama anak itu, bapak yakin dia mampu bertanggungjawab, tidak nampak raut muka ingah-ingih, yang bapak rasa justru aura keikhlasan kemantapan dan tanggungjawab bukan aura napsu dan kenekatan semata."
Benarlah 2 minggu kemudian kami bersepakat untuk bertemu secara resmi dan mas Alam berjanji akan membawa keluarganya silaturahmi ke rumah. Akhir Mei tepat dibawah naungan senja itu kami melangsungkan akad nikah. Saya memandangkan penuh haru dan syukur. Pangeran berbaju merah yang selalu saya hadir dalam mimpi saya itu, yang ternyata adalah mas Alam. Benarlah dugaan saya saat membuka koper bajunya hampir 90% bajunya berwarna merah.
Awal Juni mas Alam diwisuda, saya masih ingat waktu saya wisuda dulu sempat iri melihat teman saya ditemani suaminya. Sekarang tercapailah keinginan saya yang justru menemani suami saya diwisuda.
Memang benar mas Alam orang bertanggung jawab, ternyata selain menjadi asdos dia juga berjuang menjadi guru les disebuah lembaga bimbingan belajar. Dia sungguh-sungguh mencari nafkah, melamar pekerjaan dan alhamdulillah awal Agustus mas Alam diterima menjadi dosen di sebuah universitas di Yogyakarta.
Sungguh indah rencananya... Senja itu ku pandang langit merah kekuningan dilengkapi oleh pelangi... Owh begitu indah senja ini. Diterpa semilir angin yang menyejukkan dan kini aku tidak sendiri ada dia disampingku. Melengkapi separuh dienku dan merangkulku menuju jannahMu.....aamiin
Jazakallah pelangi senjaku....
Memang benar indahnya menikah dijalan dakwah...... karena kami menikah bukan atas materi atau nafsu, tapi kami menikah untuk memenuhi perintahnya untuk menghindari maksiat dan tentunya untuk saling menguatkan di jalan dakwah ini....
♥♥♥
Allah memang tidak memberikan apa yang kita inginkan tapi Allah memberikan apa yang kita butuhkan untuk menuju apa yang kita citakan. Yakinkan dirimu Allah lebih tahu yang terbaik untukmu, cintakan sepenuh ragamu untuk TuhanMu bukan untuk hambanya karena belum tentu hambaNya yang kau cintai itu untukmu, jodohmu janganlah mendekte Allah dengan pede menyebut namanya dalam doamu.... Allah lebih tahu yang terbaik untukmu, Allah telah mengariskan semua dalam lauh Mafuz.... Dia tahu siapa yang terbaik untukmu, dia telah mengatur rezekimu... janganlah kau takut miskin, menikahlah Allah akan melindungimu dari bahaya zina dan menikahlah Allah akan memenuhi kebutuhanmu....
Salah kalau kau bilang aku belum siap menikah karena masih muda, masih menganggur, belum membahagiakan orang tua... Kalau begitu akankah umurmu 40 tahun dulu kau siap menikah? Saya percaya kesiapan itu dari hati karena kita punya tekad dan niat suci. Ikhwan jangan salahkan kalau akhwat incaranmu justru dinikahi oleh ikhwan yang belum mengenal liqo’ atau halaqah sepertimu atau ikhwan lain yang lebih punya misi keneranian. Karena kau terlalu lama berfikir dan menunda. Bukankah kau sering berkata “fastabiqul khoirot” lalu kenapa menjadi menyerah saat mendapat tawaran menikah, bukankah menikah juga termasuk kebaikan? Malukah kau kalau yang mengatakan niatan suci itu justru akhwat?
"Wahai para pemuda, barangsiapa telah mampu diantara kalian hendaklah melaksanakan pernikahan, karena ia dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan (kehormatan). Barangsiapa tidak mampu hendaklah berpuasa, karena ia menjadi benteng perlindungan." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasa'i)
“Dan nikahkanlah orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak nikah diantara hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya, dan Allah maha luas pemberianNya lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur:32)
Hari triardiyanti♥♥♥
Hmm.. ^_^
BalasHapusyuk diikuti :P
Hapus