Gumpalan awan hitam mulai mendominasi langit. Lama-kelamaan gumpalan awan itu menguap dan menjadi titik-titik air yang basahi
bumi. Gemercik air hujan memacu sebagian orang untuk mempercepat laju
kendaraannya. Begitu pula dengan diriku, aku mulai mempercepat langkah kakiku
menuju halte bis. Ehm, halte ini tampak telah berumur. Besinya telah berkarat
dan nampak kurang terurus. Namun, tak apalah setidaknya bisa digunakan untuk
berteduh sementara.
Ku kira, aku akan menjadi penghuni tunggal halte ini,
namun ternyata datang seorang laki-laki yang berumur sekitar 35 tahun yang
diekor oleh anaknya yang berumur sekitar 10 tahun. Laki-laki dengan baju batik
berwarna biru itu nampak sibuk membersihkan rambut anaknya yang terguyur hujan.
Pemandangan yang nyaris membuatku miris. Sebenarnya aku sangat rindu kasih
sayang ayah, tapi ya sudahlah tak perlu ku buka lagi lembar lama.
“Bagaimana perjalanan kita hari ini?” tanya laki-laki
itu sembari menatap sayang anaknya. “Kau senang kan, nak?”
“Iya, Yah, aku senang sekali!” ucap anak itu sembari
tersenyum bahagia. “Tapi, kenapa kita harus mengunjungi rumah sakit jiwa?”
tanya anak itu polos.
Aku langsung tersentak mendengar kalimat terakhir anak
itu. Sesuatu yang aneh. Tapi, aku jadi penasaran apa yang selanjutnya akan
mereka perbincangkan. Spontan langsung ku pertajam pendengaranku.
“Kau tahu nak, bagaimana keadaan orang- orang disana?”
tanya laki- laki itu.
“Mereka
terlihat bahagia, namun ada juga yang terlihat sedih, dan ada juga yang tiba-tiba mengamuk.” Jawab anak itu.
“Kau tahu, kenapa seperti itu?”
“Kata dokter, beban mental, tapi aku masih tidak
mengerti maksud dokter?”
“Dengarkan ayah baik-baik ya, nak!” ucap laki- laki
itu sembari merangkul anaknya. “Nak, dibalik hitam selalu ada putih dan dibalik
putih tidak mungkin ada hitam, jika pun ada pasti akan membuat warna putih
menjadi terlihat hitam, meski warna hitam itu hanya setitik!” jelasnya.
“Aku tak mengerti, Yah?” ucap anak itu polos.
“Ini, ayah punya kertas putih, coba saja kau coret, kau
gambar sesukamu!” perintah laki- laki itu sembari memberikan selembar kertas
HVS kepada anaknya. Anak dengan baju bergambar mobil itu, nampak masih bingung
dengan apa yang dikatakan ayahnya. “Ayo, bukankah kau suka menggambar, nak?
Tunjukkan pada ayah bakatmu itu!” dukungnya. Meskipun telah diberi dukungan,
anak itu nampak masih bimbang untuk menggambar.
“Benar nich Yah, aku boleh menggambar?” tanya anak
itu polos.
“Ya bolehlah!” jawab laki-laki itu, semangat. “Kalau
Hamif punya bakat salurin aja, jangan dipendam, nanti kalau dipendam bisa-bisa
bakatnya hilang loh!”
“Memang bisa Yah?”
“Ya, bisalah nak!” ucap laki-laki itu meyakinkan.
“Bakat itu memang sesuatu yang terpendam dalam diri, tapi jika dipendam terus
tidak akan bisa berkembang. Contoh nyatanya, Hamif. Hamif kan bisa
menggambar, tapi kalau Hamif gak pernah mau latihan menggambar, ya Hamif tetap
bisa menggambar, tapi gambarnya biasa saja. Jadi ya karya Hamif tetap berkategori
sedang, tapi kalau Hamif mau latihan terus, nanti Hamif bisa ngrasain gimana
bikin gambar yang bagus. Istilahnya, Hamif bisa mengukur takaran yang harus
dipakai karena Hamif udah belajar dari kesalahan-kesalahan yang Hamif lakukan
pada waktu yang lalu.” Jelasnya panjang lebar. “Ya udah, sekarang Hamif gambar
aja!” suruhnya.
Anak bernama Hamif itu mulai membuat gambar, coretan-coretan halus yang merupakan sketsa gambar cangkir. Beberapa detik kemudian,
sketsa itu menjadi sebuah coretan tegas menyerupai gambar cangkir yang
disekelilingnya terdapat tumpahan air. Gambar itupun diasir dengan pensil. Dan
kini terciptalah karya beraliran naturalisme. Menurutku, sebuah gambar yang
bagus, untuk anak seumurannya.
Hamif langsung memperlihatkan buah karyanya pada
ayahnya.
“Bagus,” puji laki-laki itu. “Tahu tidak nak, sebelum
kamu gambar, kertas ini berwarna putih, tanpa noda hitam. Nah, setelah kau
gambar kertas ini menjadi coretan-coretan noda hitam, tapi ada dua noda hitam,
yang pertama noda hitam dengan hasil karya yang indah dan yang kedua noda hitam
dengan hasil karya yang jelek.” Jelasnya. “Noda hitam dengan hasil yang indah
ataupun jelek itu adalah pencerminan diri kita yang mampu dirasakan atau
dilihat orang lain. Jika kita mencoret menjadi noda hitam dengan hasil yang
indah, nah itu sifat baik yang kita pancarkan keluar. Tapi jika kita mencoret
menjadi noda hitam dengan hasil yang jelek berarti sifat yang terpancar adalah
sifat buruk kita. Dan baik buruknya seseorang itu tergantung pada empunya. Jika
dia ingin baik, buatlah karya yang mempesona, tapi jika ingin jelek, ya buatlah
menjadi jelek. Sedangkan putih itu adalah sifat kita sesungguhnya.” Tambahnya
panjang lebar. “Maka dari itu nak, janganlah lihat seseorang dari sudut
depannya saja, tapi dari sudut dalamnya juga. Dan kamu juga jangan menilai
seseorang dari sisi subjektifmu saja, tapi juga dari penilaian mereka terhadap
diri mereka sendiri!” nasehatnya.
“Terus apa hubungannya dengan orang gila tadi, Yah?”
tanya Hamif.
“Sebenarnya tidak ada hubungannya dengan orang gila
tadi, tapi ada hubungannya dengan penilaianmu terhadap orang gila tadi!” jawab
laki- laki itu sembari menyentuh hidung Hamif dengan jari telunjuknya.
“Berarti, maksud ayah, aku hanya melihat mereka dari
sisi depan saja, belum ke sisi dalam?” tanyanya lagi.
“Iya, mungkin
memang benar mereka terlihat bahagia dan kadang sedih bahkan mengamuk, dan
memang benar pula kata dokter kalau mereka punya beban mental yang terlalu
berat, tapi pernahkah kita berfikir untuk tahu apa masalah yang menjerat
perasaan mereka?” Dan setelah mendengar pertanyaan ayahnya, Hamif langsung
menggelengkan kepala. “Nah, itulah fungsi kita melihat seseorang bukan hanya
dari sisi kita, tetapi juga dari sisi diri mereka sendiri. Kita sebenarnya
terlalu egois, memikirkan segala sesuatu itu dari apa yang kita lihat dan apa
yang kita rasa, tapi jarang sekali kita ingin tahu apa yang sesungguhnya
terjadi!” jelasnya.
‘Terus apakah kita harus selalu ingin tahu masalah
orang?” tanya Hamif lagi.
“Ya, bukan seperti itu maksud ayah!” jawabnya sembari
menghembuskan nafas. “Ayah menasehatimu seperti ini agar kamu tidak selalu menjudgement atau memberikan penimbangan
atau pendapat selalu dari sisi kamu, tapi juga dari sisi orang itu sendiri. Dan
itu banyak caranya, seperti, kamu membayangkan berada diposisi dirinya.
Contohnya, guru Hamif memberikan PR, tapi kebetulan baru sekali itu saja PR
tidak dicocokan, padahal Hamif sudah berusaha dengan semangat 45 untuk
mengerjakan PR. Pastinya Hamif sebelkan dan akhirnya Hamif tidak suka ma
beliau.” ucapnya sembari mengelus pundak Hamif. “Itu namanya penilaian dari sisi
Hamif, padahal asal Hamif tahu, tugas guru itu banyak, bukan hanya sebatas
mengajar dan meneliti Ulangan dan PR, tapi juga merekap nilai, membuat laporan
kegiatan belajar mengajar, ya kalau Hamif tahu kerjaan guru tuh numpuk, kan
Hamif jadi paham dan tidak sebel lagi ma tu guru.”
“Iya, Yah, Hamif ngerti!”
“Tapi sebenarnya, ayah ingin kamu tidak hanya bisa
memahami orang, tapi juga memahami dirimu sendiri!” nasehatnya. “Dan cara untuk
memahami dirimu sendiri salah satunya, kamu jangan hanya sedia cermin, tapi juga
sedia genangan air!” tambahnya.
Aku terhenyak mendengar kalimat terakhir laki- laki
itu, sebenarnya aku masih binggung apa yang dia maksud dengan tidak hanya sedia
cermin, tapi juga sedia genangan air. Kini aku terhanyut dengan pemikiranku
sendiri. Dan tanpa sadar laki- laki itu dan anaknya telah pergi meninggalkanku.
Ternyata hujan telah reda.
Aku berlenggang dari halte dan melangkah menulusuri
jalan setapak. Dan diriku masih dikuasi oleh pemikiranku, yang entah akan
berlabuh kapan dan dimana. Semilir angin dingin menusuk pori-pori kulitku,
menengakkan bulu kudukku. Hem, kalau sudah seperti ini, rasanya ingin cepat
sampai rumah. Namun sepertinya aku harus menepis semua pemikiran tentang rumah,
aku masih ada tanggungan untuk melihat nilai hasil semesteranku. Kalau ingat
hal ini, jantungku jadi berdetak dengan kencangnya. Rasa takut, cemas, penuh
harapan, berkecambuk dalam lubuk hatiku. Ku rasa usahaku lebih maksimal dari
tahun lalu, dan aku yakin hasilnya pun lebih baik, meski aku tahu, soal- soal
kelas 12 jelas lebih tinggi tingkat kesulitannya dibanding kelas 11 dan kelas
10. Tapi aku tetap harus optimis, ini semester terakhirku di SMA.
Tak sampai se per 4 jam, aku sudah sampai depan
gerbang sekolah. Dan kini jantungku berdetak lebih kencang, 5 kali lipat dari
yang tadi. Entahlah apa yang akan terjadi nanti, yang jelas kini aku pasrah,
tapi hatiku masih rajin berdoa untuk keberhasilanku. Langkahku kini justru
semakin lambat, rasanya tubuhku menjadi lemah, tak berdaya. Tapi aku tidak
boleh seperti ini, aku harus maju dan berani hadapi kenyataan, sekalipun itu
pahit.
Sekolah sepi, hanya segelintir anak yang nampak masih
betah menghuni sekolah. Entahlah apa yang mereka kerjakan, yang jelas semua itu
tak penting bagiku, yang terpenting bagiku adalah bergegas menuju papan
pengumuman.
Daftar nilai belum lengkap, hanya ada Geografi,
Sejarah, dan PKn, PKn? Melihat tulisan itu, mataku langsung tertuju pada daftar
nilai anak kelas 12 IPA, Alhamdulillah, dapat nilai 85. Namun disebelah daftar
nilai PKn, ada daftar nilai Matematika. Melihat nilai Matematikaku, aku
langsung lemas, nilaiku 55. Padahal kemarin aku dah semangat belajar, dari
mengerjakan LKS, belajar catatan, sampai latihan soal semesteran, dan rasanya
kemarin aku bisa mengerjakan, bahkan aku sempat optimis nggak remidi. Tapi
angka kembar itu (55) rasanya telah memutuskan harapanku.
Perasaanku kini bercampur aduk, tak karuan, entahlah!
Aku kecewa, sedih. Dulu pas kelas 10 juga begini dan kelas 11 begini juga terus
sekarang kelas 12 kenapa remidi juga? Aku masih tak mengerti, ingin sekali aku
merobek kertas daftar nilai itu, jujur aku bukan hanya sedih, tapi juga malu,
namaku terpampang jelas di papan remidi Matematika. Tapi ya, sudahlah, semua
udah terjadi, kalaupun aku sobek hingga tu kertas tak berbentuk, tetap saja
nilaiku belum tuntas.
Kini aku mencoba untuk tetap kuat hadapi kenyataan.
Dan bergegas meninggalkan sekolah ini, mungkin suatu pilihan yang baik untukku.
Namun baru beberapa langkah, langkah kakiku terhenti, masih ada daftar nilai
lagi. Fisika, aku langsung mendekatinya, tapi dengan mata tertutup, aku mencoba
untuk menenangkan pikiranku. Tak sampai 10 detik, aku langsung membuka mataku,
aku masuk daftar remidi lagi, nilaiku 60. Aku nggak pernah nyangka, ini seperti
mimpi buruk! Sungguh aku ingin lekas bangun, tapi ini bukan mimpi, ini
kenyataan, yang mau tak mau harus aku hadapi.
Aku masih berada dalam alam sadarku, dan aku pun sadar
kalau aku ini seorang laki- laki. Dan laki- laki bukanlah tipe orang yang
cengeng, aku harus kuat. Tapi ini baru hari pertama, aku sudah panen 2 mapel
yang siap diremidi. Huff, bagaimana dengan yang lain? Cukup! Aku nggak tahan
lagi dengan semua pemikiran ini. 2 mapel itu adalah salah 2 mapel UNAS, ya
Rabb! Iya, aku tahu semua itu, tapi sudahlah, percuma saja menyesali sesuatu
yang tak bisa kembali.
Aku melangkah lemas keluar dari sekolah. Mimpi buruk
ini akan berakhir, pasti. Tapi aku benci dengan semua ini. Aku sangat malu
dengan teman-teman sekelasku, mereka sangat pandai akhir-akhir ini, dan aku,
rasanya masih sulit untuk mengimbangi mereka. Apa yang harus aku lakukan?
Apakah perjuanganku hanyalah sebuah kesia-siaan belaka? Aku tahu dengan pasti
nggak ada yang sia-sia, tapi ini benar-benar memojokkan dan menyakitkanku. Dan
aku tahu dengan pasti, ada 2 insan yang menumpukkan harapan padaku, ya ayah dan
ibuku. Pertanggungjawaban seperti apa yang harus aku suguhkan untuk mereka?
Aku tak ingin kecewakan mereka! Aku juga tak ingin sia-siakan setiap tetesan
keringat, kerja keras mereka untuk menyekolahkanku! Tapi, apa yang terjadi hari
ini serasa menyobek harapanku. Nggak! Aku nggak boleh putus asa, remidi
bukanlah akhir dari perjuanganku. Aku masih harus menempuh UAS, UNAS, UMPTN,
SMPTN, ya aku harus bangkit! Bagaimanapun caranya, aku harus bisa! Aku harus
semangat, aku pasti bisa!
Semilir angin menyapaku, membuatku teringat kata-kata
Dayat.
“Heran aku ma kamu, apa yang kurang dari kamu, udah
rajin puasa Senin-Kamis, rajin Dhuha, Sholat 5 waktu bahkan di tambah sholat
Rowatib, tapi kok untuk urusan nilai, kayaknya belum dikasih kemudahan! Padahal
kamu belajarnya rajin, tapi tenang Kri, semakin tinggi level keimanan dan
ketaqwaaan, semakin besar pula ujiannya!”
Entahlah, kata-kata dayat itu, memang tak tertata
dengan rapi, tapi aku mengerti apa maksudnya. Mengapa Dayat melihatku begitu
indah, dia sepertinya terpesona dengan pancaran keindahan yang tercoret pada
noda hitam di diriku, tapi dia belum melihat noda putih yang tersembunyi dalam.
Aku baru menyadari kalau laki-laki itu (yang ada di halte tadi) telah
mengajariku tentang arti putih, dulu kukira putih melambangkan kesucian,
pokoknya hal-hal dan sifat yang baik, tapi warna putih dalam kehidupan itu
beda, nggak seperti warna putih biasa, warna putih kehidupan memancarkan dua
warna, putih jernih yang melambangkan orang baik dan putih keruh yang
melambangkan orang yang punya sifat baik, tapi tertutupi oleh sifat buruknya.
Pyuk...., kakiku menginjak genangan air. Kulihat
bayanganku disana, tak nampak jelas, tapi ini bayanganku yang sesungguhnya! Ya!
Genangan air itu menampilkan guratan hitam bayang diriku, tapi juga mampu
tampilkan sisi terang bayangan diriku, meski tak sejelas cermin. Tapi aku tahu,
kalau itu bayanganku. Genangan air memang tak mampu menampilkan bayangan
wajahku secara jelas, tapi dia mampu menampilkan sisi terang dan sisi gelap
diriku. Dia adalah cermin kehidupan yang sesungguhnya! Cermin yang membuatku
sadar kalau selama ini aku terlalu terlena dengan cermin jernih yang terbuat
dari kaca, hingga aku abaikan cermin keruh yang hanya genangan air.
Aku mampu melihat betapa busuknya diriku! Aku baru
sadar, selama in aku terlalu sibuk dengan cermin dari kaca yang merupakan
penjelmaan dari tiap tanggapan orang tentang diriku. Aku selalu bercermin lewat
tanggapan baik saja dan aku lupa akan siapa sebenarnya diriku. Aku terlalu
mengabaikan genangan air yang menampilkan segala kebenaran tentang diriku.
Sekarang aku paham dengan kata- kata lelaki tadi. Aku juga mengerti kenapa
kegagalan ini harus menimpaku, karena aku terlalu sibuk dengan keindahan
diriku, sehingga ku lupakan keburukan yang bersemayam dalam diriku. Aku terlalu
bangga dengan pujian orang, sehingga aku tak mampu melihat kelemahan dan
kesalahanku. Jadi, selama ini aku sangat sombong. Astagfirullahaladzim, berani-beraninya diriku memakai selendang Tuhanku. Ternyata memang benar keindahan itu
laksana topeng kehidupan yang harus segera ku lepas, aku harus maju tanpa
topeng! Aku harus buang topeng ini jauh- jauh!
Brzzt...., sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi
dan parahnya, aku terkena cipratan genangan air itu. Hampir saja aku mengumpat
pengemudi tadi, tapi aku sadar ini semua pantas untuk ku terima. Bahkan ini
semua bukanlah balasan yang sebanding atas apa yang diriku lakukan selama ini.
Maafkan khilafku Allah....
Hari triardiyanti♥♥♥
Maafkan khilafku Allah....
Hari triardiyanti♥♥♥
♥♥ ♥
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jazakumullah khoir atas kritik dan sarannya... ^^