Motisakti

Motisakti

Jumat, 22 Februari 2013

Cermin dan Genangan air

Gumpalan awan hitam mulai mendominasi langit. Lama-kelamaan gumpalan awan itu menguap dan menjadi titik-titik air yang basahi bumi. Gemercik air hujan memacu sebagian orang untuk mempercepat laju kendaraannya. Begitu pula dengan diriku, aku mulai mempercepat langkah kakiku menuju halte bis. Ehm, halte ini tampak telah berumur. Besinya telah berkarat dan nampak kurang terurus. Namun, tak apalah setidaknya bisa digunakan untuk berteduh sementara.
Ku kira, aku akan menjadi penghuni tunggal halte ini, namun ternyata datang seorang laki-laki yang berumur sekitar 35 tahun yang diekor oleh anaknya yang berumur sekitar 10 tahun. Laki-laki dengan baju batik berwarna biru itu nampak sibuk membersihkan rambut anaknya yang terguyur hujan. Pemandangan yang nyaris membuatku miris. Sebenarnya aku sangat rindu kasih sayang ayah, tapi ya sudahlah tak perlu ku buka lagi lembar lama.
“Bagaimana perjalanan kita hari ini?” tanya laki-laki itu sembari menatap sayang anaknya. “Kau senang kan, nak?”
“Iya, Yah, aku senang sekali!” ucap anak itu sembari tersenyum bahagia. “Tapi, kenapa kita harus mengunjungi rumah sakit jiwa?” tanya anak itu  polos.
Aku langsung tersentak mendengar kalimat terakhir anak itu. Sesuatu yang aneh. Tapi, aku jadi penasaran apa yang selanjutnya akan mereka perbincangkan. Spontan langsung ku pertajam pendengaranku.
“Kau tahu nak, bagaimana keadaan orang- orang disana?” tanya laki- laki itu.
 “Mereka terlihat bahagia, namun ada juga yang terlihat sedih, dan ada juga yang tiba-tiba mengamuk.” Jawab anak itu.
“Kau tahu, kenapa seperti itu?”
“Kata dokter, beban mental, tapi aku masih tidak mengerti maksud dokter?”
“Dengarkan ayah baik-baik ya, nak!” ucap laki- laki itu sembari merangkul anaknya. “Nak, dibalik hitam selalu ada putih dan dibalik putih tidak mungkin ada hitam, jika pun ada pasti akan membuat warna putih menjadi terlihat hitam, meski warna hitam itu hanya setitik!” jelasnya.
“Aku tak mengerti, Yah?” ucap anak itu polos.
“Ini, ayah punya kertas putih, coba saja kau coret, kau gambar sesukamu!” perintah laki- laki itu sembari memberikan selembar kertas HVS kepada anaknya. Anak dengan baju bergambar mobil itu, nampak masih bingung dengan apa yang dikatakan ayahnya. “Ayo, bukankah kau suka menggambar, nak? Tunjukkan pada ayah bakatmu itu!” dukungnya. Meskipun telah diberi dukungan, anak itu nampak masih bimbang untuk menggambar.
“Benar nich Yah, aku boleh menggambar?” tanya anak itu  polos.
“Ya bolehlah!” jawab laki-laki itu, semangat. “Kalau Hamif punya bakat salurin aja, jangan dipendam, nanti kalau dipendam bisa-bisa bakatnya hilang loh!”
“Memang bisa Yah?”
“Ya, bisalah nak!” ucap laki-laki itu meyakinkan. “Bakat itu memang sesuatu yang terpendam dalam diri, tapi jika dipendam terus tidak akan bisa berkembang. Contoh nyatanya, Hamif. Hamif kan bisa menggambar, tapi kalau Hamif gak pernah mau latihan menggambar, ya Hamif tetap bisa menggambar, tapi gambarnya biasa saja. Jadi ya karya Hamif tetap berkategori sedang, tapi kalau Hamif mau latihan terus, nanti Hamif bisa ngrasain gimana bikin gambar yang bagus. Istilahnya, Hamif bisa mengukur takaran yang harus dipakai karena Hamif udah belajar dari kesalahan-kesalahan yang Hamif lakukan pada waktu yang lalu.” Jelasnya panjang lebar. “Ya udah, sekarang Hamif gambar aja!” suruhnya.
Anak bernama Hamif itu mulai membuat gambar, coretan-coretan halus yang merupakan sketsa gambar cangkir. Beberapa detik kemudian, sketsa itu menjadi sebuah coretan tegas menyerupai gambar cangkir yang disekelilingnya terdapat tumpahan air. Gambar itupun diasir dengan pensil. Dan kini terciptalah karya beraliran naturalisme. Menurutku, sebuah gambar yang bagus, untuk anak seumurannya.
Hamif langsung memperlihatkan buah karyanya pada ayahnya.
“Bagus,” puji laki-laki itu. “Tahu tidak nak, sebelum kamu gambar, kertas ini berwarna putih, tanpa noda hitam. Nah, setelah kau gambar kertas ini menjadi coretan-coretan noda hitam, tapi ada dua noda hitam, yang pertama noda hitam dengan hasil karya yang indah dan yang kedua noda hitam dengan hasil karya yang jelek.” Jelasnya. “Noda hitam dengan hasil yang indah ataupun jelek itu adalah pencerminan diri kita yang mampu dirasakan atau dilihat orang lain. Jika kita mencoret menjadi noda hitam dengan hasil yang indah, nah itu sifat baik yang kita pancarkan keluar. Tapi jika kita mencoret menjadi noda hitam dengan hasil yang jelek berarti sifat yang terpancar adalah sifat buruk kita. Dan baik buruknya seseorang itu tergantung pada empunya. Jika dia ingin baik, buatlah karya yang mempesona, tapi jika ingin jelek, ya buatlah menjadi jelek. Sedangkan putih itu adalah sifat kita sesungguhnya.” Tambahnya panjang lebar. “Maka dari itu nak, janganlah lihat seseorang dari sudut depannya saja, tapi dari sudut dalamnya juga. Dan kamu juga jangan menilai seseorang dari sisi subjektifmu saja, tapi juga dari penilaian mereka terhadap diri mereka sendiri!” nasehatnya.
“Terus apa hubungannya dengan orang gila tadi, Yah?” tanya Hamif.
“Sebenarnya tidak ada hubungannya dengan orang gila tadi, tapi ada hubungannya dengan penilaianmu terhadap orang gila tadi!” jawab laki- laki itu sembari menyentuh hidung Hamif dengan jari telunjuknya.
“Berarti, maksud ayah, aku hanya melihat mereka dari sisi depan saja, belum ke sisi dalam?” tanyanya lagi.
  “Iya, mungkin memang benar mereka terlihat bahagia dan kadang sedih bahkan mengamuk, dan memang benar pula kata dokter kalau mereka punya beban mental yang terlalu berat, tapi pernahkah kita berfikir untuk tahu apa masalah yang menjerat perasaan mereka?” Dan setelah mendengar pertanyaan ayahnya, Hamif langsung menggelengkan kepala. “Nah, itulah fungsi kita melihat seseorang bukan hanya dari sisi kita, tetapi juga dari sisi diri mereka sendiri. Kita sebenarnya terlalu egois, memikirkan segala sesuatu itu dari apa yang kita lihat dan apa yang kita rasa, tapi jarang sekali kita ingin tahu apa yang sesungguhnya terjadi!” jelasnya.
‘Terus apakah kita harus selalu ingin tahu masalah orang?” tanya Hamif lagi.
“Ya, bukan seperti itu maksud ayah!” jawabnya sembari menghembuskan nafas. “Ayah menasehatimu seperti ini agar kamu tidak selalu menjudgement atau memberikan penimbangan atau pendapat selalu dari sisi kamu, tapi juga dari sisi orang itu sendiri. Dan itu banyak caranya, seperti, kamu membayangkan berada diposisi dirinya. Contohnya, guru Hamif memberikan PR, tapi kebetulan baru sekali itu saja PR tidak dicocokan, padahal Hamif sudah berusaha dengan semangat 45 untuk mengerjakan PR. Pastinya Hamif sebelkan dan akhirnya Hamif tidak suka ma beliau.” ucapnya sembari mengelus pundak Hamif. “Itu namanya penilaian dari sisi Hamif, padahal asal Hamif tahu, tugas guru itu banyak, bukan hanya sebatas mengajar dan meneliti Ulangan dan PR, tapi juga merekap nilai, membuat laporan kegiatan belajar mengajar, ya kalau Hamif tahu kerjaan guru tuh numpuk, kan Hamif jadi paham dan tidak sebel lagi ma tu guru.”
“Iya, Yah, Hamif ngerti!”
“Tapi sebenarnya, ayah ingin kamu tidak hanya bisa memahami orang, tapi juga memahami dirimu sendiri!” nasehatnya. “Dan cara untuk memahami dirimu sendiri salah satunya, kamu jangan hanya sedia cermin, tapi juga sedia genangan air!” tambahnya.
Aku terhenyak mendengar kalimat terakhir laki- laki itu, sebenarnya aku masih binggung apa yang dia maksud dengan tidak hanya sedia cermin, tapi juga sedia genangan air. Kini aku terhanyut dengan pemikiranku sendiri. Dan tanpa sadar laki- laki itu dan anaknya telah pergi meninggalkanku. Ternyata hujan telah reda.
Aku berlenggang dari halte dan melangkah menulusuri jalan setapak. Dan diriku masih dikuasi oleh pemikiranku, yang entah akan berlabuh kapan dan dimana. Semilir angin dingin menusuk pori-pori kulitku, menengakkan bulu kudukku. Hem, kalau sudah seperti ini, rasanya ingin cepat sampai rumah. Namun sepertinya aku harus menepis semua pemikiran tentang rumah, aku masih ada tanggungan untuk melihat nilai hasil semesteranku. Kalau ingat hal ini, jantungku jadi berdetak dengan kencangnya. Rasa takut, cemas, penuh harapan, berkecambuk dalam lubuk hatiku. Ku rasa usahaku lebih maksimal dari tahun lalu, dan aku yakin hasilnya pun lebih baik, meski aku tahu, soal- soal kelas 12 jelas lebih tinggi tingkat kesulitannya dibanding kelas 11 dan kelas 10. Tapi aku tetap harus optimis, ini semester terakhirku di SMA.
Tak sampai se per 4 jam, aku sudah sampai depan gerbang sekolah. Dan kini jantungku berdetak lebih kencang, 5 kali lipat dari yang tadi. Entahlah apa yang akan terjadi nanti, yang jelas kini aku pasrah, tapi hatiku masih rajin berdoa untuk keberhasilanku. Langkahku kini justru semakin lambat, rasanya tubuhku menjadi lemah, tak berdaya. Tapi aku tidak boleh seperti ini, aku harus maju dan berani hadapi kenyataan, sekalipun itu pahit.
Sekolah sepi, hanya segelintir anak yang nampak masih betah menghuni sekolah. Entahlah apa yang mereka kerjakan, yang jelas semua itu tak penting bagiku, yang terpenting bagiku adalah bergegas menuju papan pengumuman.
Daftar nilai belum lengkap, hanya ada Geografi, Sejarah, dan PKn, PKn? Melihat tulisan itu, mataku langsung tertuju pada daftar nilai anak kelas 12 IPA, Alhamdulillah, dapat nilai 85. Namun disebelah daftar nilai PKn, ada daftar nilai Matematika. Melihat nilai Matematikaku, aku langsung lemas, nilaiku 55. Padahal kemarin aku dah semangat belajar, dari mengerjakan LKS, belajar catatan, sampai latihan soal semesteran, dan rasanya kemarin aku bisa mengerjakan, bahkan aku sempat optimis nggak remidi. Tapi angka kembar itu (55) rasanya telah memutuskan harapanku.
Perasaanku kini bercampur aduk, tak karuan, entahlah! Aku kecewa, sedih. Dulu pas kelas 10 juga begini dan kelas 11 begini juga terus sekarang kelas 12 kenapa remidi juga? Aku masih tak mengerti, ingin sekali aku merobek kertas daftar nilai itu, jujur aku bukan hanya sedih, tapi juga malu, namaku terpampang jelas di papan remidi Matematika. Tapi ya, sudahlah, semua udah terjadi, kalaupun aku sobek hingga tu kertas tak berbentuk, tetap saja nilaiku belum tuntas.
Kini aku mencoba untuk tetap kuat hadapi kenyataan. Dan bergegas meninggalkan sekolah ini, mungkin suatu pilihan yang baik untukku. Namun baru beberapa langkah, langkah kakiku terhenti, masih ada daftar nilai lagi. Fisika, aku langsung mendekatinya, tapi dengan mata tertutup, aku mencoba untuk menenangkan pikiranku. Tak sampai 10 detik, aku langsung membuka mataku, aku masuk daftar remidi lagi, nilaiku 60. Aku nggak pernah nyangka, ini seperti mimpi buruk! Sungguh aku ingin lekas bangun, tapi ini bukan mimpi, ini kenyataan, yang mau tak mau harus aku hadapi.
Aku masih berada dalam alam sadarku, dan aku pun sadar kalau aku ini seorang laki- laki. Dan laki- laki bukanlah tipe orang yang cengeng, aku harus kuat. Tapi ini baru hari pertama, aku sudah panen 2 mapel yang siap diremidi. Huff, bagaimana dengan yang lain? Cukup! Aku nggak tahan lagi dengan semua pemikiran ini. 2 mapel itu adalah salah 2 mapel UNAS, ya Rabb! Iya, aku tahu semua itu, tapi sudahlah, percuma saja menyesali sesuatu yang tak bisa kembali.
Aku melangkah lemas keluar dari sekolah. Mimpi buruk ini akan berakhir, pasti. Tapi aku benci dengan semua ini. Aku sangat malu dengan teman-teman sekelasku, mereka sangat pandai akhir-akhir ini, dan aku, rasanya masih sulit untuk mengimbangi mereka. Apa yang harus aku lakukan? Apakah perjuanganku hanyalah sebuah kesia-siaan belaka? Aku tahu dengan pasti nggak ada yang sia-sia, tapi ini benar-benar memojokkan dan menyakitkanku. Dan aku tahu dengan pasti, ada 2 insan yang menumpukkan harapan padaku, ya ayah dan ibuku. Pertanggungjawaban seperti apa yang harus aku suguhkan untuk mereka? Aku tak ingin kecewakan mereka! Aku juga tak ingin sia-siakan setiap tetesan keringat, kerja keras mereka untuk menyekolahkanku! Tapi, apa yang terjadi hari ini serasa menyobek harapanku. Nggak! Aku nggak boleh putus asa, remidi bukanlah akhir dari perjuanganku. Aku masih harus menempuh UAS, UNAS, UMPTN, SMPTN, ya aku harus bangkit! Bagaimanapun caranya, aku harus bisa! Aku harus semangat, aku pasti bisa!
Semilir angin menyapaku, membuatku teringat kata-kata Dayat.
“Heran aku ma kamu, apa yang kurang dari kamu, udah rajin puasa Senin-Kamis, rajin Dhuha, Sholat 5 waktu bahkan di tambah sholat Rowatib, tapi kok untuk urusan nilai, kayaknya belum dikasih kemudahan! Padahal kamu belajarnya rajin, tapi tenang Kri, semakin tinggi level keimanan dan ketaqwaaan, semakin besar pula ujiannya!”
Entahlah, kata-kata dayat itu, memang tak tertata dengan rapi, tapi aku mengerti apa maksudnya. Mengapa Dayat melihatku begitu indah, dia sepertinya terpesona dengan pancaran keindahan yang tercoret pada noda hitam di diriku, tapi dia belum melihat noda putih yang tersembunyi dalam. Aku baru menyadari kalau laki-laki itu (yang ada di halte tadi) telah mengajariku tentang arti putih, dulu kukira putih melambangkan kesucian, pokoknya hal-hal dan sifat yang baik, tapi warna putih dalam kehidupan itu beda, nggak seperti warna putih biasa, warna putih kehidupan memancarkan dua warna, putih jernih yang melambangkan orang baik dan putih keruh yang melambangkan orang yang punya sifat baik, tapi tertutupi oleh sifat buruknya.
Pyuk...., kakiku menginjak genangan air. Kulihat bayanganku disana, tak nampak jelas, tapi ini bayanganku yang sesungguhnya! Ya! Genangan air itu menampilkan guratan hitam bayang diriku, tapi juga mampu tampilkan sisi terang bayangan diriku, meski tak sejelas cermin. Tapi aku tahu, kalau itu bayanganku. Genangan air memang tak mampu menampilkan bayangan wajahku secara jelas, tapi dia mampu menampilkan sisi terang dan sisi gelap diriku. Dia adalah cermin kehidupan yang sesungguhnya! Cermin yang membuatku sadar kalau selama ini aku terlalu terlena dengan cermin jernih yang terbuat dari kaca, hingga aku abaikan cermin keruh yang hanya genangan air.
Aku mampu melihat betapa busuknya diriku! Aku baru sadar, selama in aku terlalu sibuk dengan cermin dari kaca yang merupakan penjelmaan dari tiap tanggapan orang tentang diriku. Aku selalu bercermin lewat tanggapan baik saja dan aku lupa akan siapa sebenarnya diriku. Aku terlalu mengabaikan genangan air yang menampilkan segala kebenaran tentang diriku. Sekarang aku paham dengan kata- kata lelaki tadi. Aku juga mengerti kenapa kegagalan ini harus menimpaku, karena aku terlalu sibuk dengan keindahan diriku, sehingga ku lupakan keburukan yang bersemayam dalam diriku. Aku terlalu bangga dengan pujian orang, sehingga aku tak mampu melihat kelemahan dan kesalahanku. Jadi, selama ini aku sangat sombong. Astagfirullahaladzim, berani-beraninya diriku memakai selendang Tuhanku. Ternyata memang benar keindahan itu laksana topeng kehidupan yang harus segera ku lepas, aku harus maju tanpa topeng! Aku harus buang topeng ini jauh- jauh!
Brzzt...., sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi dan parahnya, aku terkena cipratan genangan air itu. Hampir saja aku mengumpat pengemudi tadi, tapi aku sadar ini semua pantas untuk ku terima. Bahkan ini semua bukanlah balasan yang sebanding atas apa yang diriku lakukan selama ini.

Maafkan khilafku Allah....            
                                                                                                                               Hari triardiyanti♥♥♥
♥♥

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jazakumullah khoir atas kritik dan sarannya... ^^