Motisakti

Motisakti

Sabtu, 23 Februari 2013

Ijinkan Saya yang Meminta


Jelas sekali wajahnya muncul dalam mimpi saya. Dan ini untuk yang ke tiga kalinya. Yang membuat saya selalu terbangun tepat jam 03.00 WIB. Bersyukur karena mimpi itu justru membangunkan saya untuk sholat qiyamullail. Kalau mau meruntut mimpi itu pertama kali muncul usai saya dan beberapa teman BEM FMIPA menjenguknya karena sakit Hirschsprung (megacolon), penyakit yang sebenarnya lebih sering ditemui pada bayi. Sejenis penyakit karena kelainan kongenital pada kolon yang ditandai dengan tiadanya sel ganglion parasimpatis pada pleksus submukosus Meissneri dan pleksus mienterikus Auerbachi (afwan intinya jadi tidak bisa BAB, ribet njelasinnya kalau masih penasaran cari di internet saja), hingga membuatnya hampir 2 bulan tidak masuk kuliah. Padahal teman-temannya termasuk saya, di bulan-bulan itu sudah mulai sibuk setor muka dan setor proposal skripsi dihadapan dosen.
Kami sesama anggota BEM FMIPA, jadi resah akan nasib teman kami yang tidak kunjung kelihatan dan tidak kunjung ada kabar, terlebih lagi posisinya sebagai mantan ketua BEM FMIPA sedang sangat diperlukan untuk serah terima jabatan (sertijab) ke ketua BEM FMIPA yang baru. Akhirnya kami mulai curiga karena sms-sms yang tidak pernah dibalas bahkan telpon pun tidak pernah diangkat. Muncullah niatan untuk silaturahmi ke rumahnya, yang jujur cukup jauh dari kampus kami. Tadinya yang mau berangkat adalah 20 orang, tapi karena takut dikira mau demo jadi disusut menjadi 7 orang ikhwan. Kenapa 7? karena kata mereka biar kayak laskar pelangi. Hehehe ya sebenernya kami itu memang kadang geje orang-orangnya. Sip, 7 ikhwan tangguh itu pun melesat kerumahnya di daerah Sragen. Afwan sampai lupa memperkenalkan namanya, namanya Fikri Al-Farisi. Cukup akrab dengan dipanggil Faris, ibunya sangat mengidolakan sahabat nabi yang bernama Salman Al-Farisi dan dengan mengilhami itu maka terrcetuslah nama anaknya Fikri Al-Farisi yang berarti pemikiran Al-Farisi/Salman Al-Farisi. Begitulah kalimat mukaddimahnya saat mengawali rapat perdana BEM FMIPA dengan Faris sebagai ketuanya.
Singkat cerita sepulang mereka dari Sragen membawa kabar sedih bahwa Faris kena megakolon dan sekarang sedang di opname di RSI Yarsis Surakarta. Yap penyakit itu membuat tubuhnya menjadi kurus karena mau makan pun menjadi tidak nyaman, tapi Alhamdulillah pada saat kami menjenguk sudah dilakukan operasi dan masih perlu bedrest.
Ohya kembali lagi tentang kelanjutan mimpi saya. Jujur tidak pernah terbesit dalam hati ini memikirkan dia terlalu dalam, bahkan jatuh hati pun tidak. Saya tidak mengerti apakah ini karena rasa iba ataukah sesuatu yang lain. Selepas menjenguknya dari Rumah Sakit, saya memang merasa miris dan iba melihat orang yang terkenal konyol, cuek, PeDe namun sebenarnya memang punya karisma kepemimpinan itu kini terbaring lemah dengan tubuh yang semakin kurus, jujur kalau boleh berpendapat layak seperti marasmus, mungkin lemak, karbohidrat bahkan protein dalam tubuhnya hampir habis memenuhi energi untuk kebutuhan tubuhnya. Ya, selepas itu entah dari mana asalnya saya bermimpi menikah dengannya dan merawatnya.  Oke saya sadar mungkin saat itu adalah rasa keibaan saya yang berperan hingga membawanya kealam bawah sadar saya dan terwujudlah mimpi semacam itu.
Semula mimpi perdana itu saya hapus dari memori. Karena jujur saja cukup berpengaruh pada kehidupan nyata saya, jadi aneh dan terasa bagaimana gitu kalau mendengar namanya disebut teman saya. Namun perlahan memori mimpi itupun hilang meski masih terasa bekasnya karena begitu nampak nyata. Kesibukan akan penyusunan skripsi membuat saya tidak begitu mengambil hati tentang apa yang telah terjadi dalam bunga tidur saya. Tapi itu ternyata tidak bertahan lama.
            “Fi” panggil Jelita. Ya nama saya Lutfi, Annisa Lutfiya Izzah. “Tadi aku lihat Faris di perpustakaan?” lanjutnya.
            “Oh ya?” sahut saya singkat dan terkesan cuek.
            “Kok cuma oh ya sich.” protes Jelita. Saya kurang tahu sich perasaan Jelita ke Faris. Tapi kalau saya lihat Jelita itu cukup perhatian dengan kondisi Faris, sampai-sampai tahu cita-citanya begitu juga Faris yang nampak cukup memahami sifat Jelita yang terkesan melankolis. Mungkin mereka cocok. Tapi ya maklum dink, Faris kan ketua si Jelita Sekertaris jadi ya intensitas komunikasi tergolong sering. “Tapi aku suka semangatnya biar bisa cepet sidang skripsi. Dengan tubuhnya yang masih kayak orang maris, mari apa sich namanya roti mari?” tanyanya sembari melirik saya.
            “Marasmus neng Jelita cantik” jawab saya gombal.
            Iya jujur percakapan itulah yang mulai mengusik pikiran saya kembali tentang mimpi aneh 1 bulan yang lalu. Dan yang membuat saya tambah kikuk ketika koreksi beruntun dari dosen yang mengharuskan saya untuk berkunjung ke perpus. Padahal jelas 2 jam yang lalu Jelita cerita kalau Faris ada diperpus. Belum siap saya bertemu dengannya. Tapi mungkin juga tidak bertemu kan sudah 2 jam yang lalu.
            Perpus FMIPA tergolong cukup besar dan luas, bukunya juga seabrek, suasananya hening, namun kalau lagi bulan-bulan seperti ini jadi rame, ya 90% isinya mahasiswa tingkat akhir. Oke mantap dan bikin tambah pusing. Tapi memacu semangat juga sich karena lirik kanan kiri kebanyakan sudah sampai BAB 4 jadi semangat buat segera memperbaiki pembahasan.
            5 buah buku sudah saya letakkan di ruang baca yang rata-rata dihuni anak-anak muka kusut, saking serius dan pusingnya. Mending saya yang cuma ambil 5 buku ada tuh yang ambil 12 buku, entah mau disortir atau dibaca semua atau dijiplak semua biar jadi skripsi tertebal sekampus.
            Saat sedang asyik menyusun kalimat-kalimat pembuktian, ces laptop mati. Ya Rabb sampai lupa kalau baterai tinggal 15 persen, pakai acara tidak muncul pemberitahuan dulu sebelum mati, atau karena saking khusyuknya sampai tidak sadar ada pemberitaan dilayar laptop. Entahlah yang jelas sekarang harus pindah tempat sebelum kalimat-kalimat yang sudah tersusun diotak ini hilang.
            “Misi ya?” ucapku yang langsung menancapkan carger laptop di terminal listrik sebelah, hah sebelah siapa? Ya Rabb saking pusingnya sampai tidak sadar kalau didepan saya.....
            “Silahkan” sahut Faris yang tampak masih khusyuk dengan bacaannya.
            ‘Ya Rabb kenapa dia masih disini dan justru palah bertemu.’ gerutu saya dalam hati. Sungguh posisi yang tidak nyaman saat itu. Dan entah apa yang mengusiknya tiba-tiba konsentrasinya beralih ke arah saya.
            “Oh, Lutfi.” ucapannya itu membuat saya harus memasang senyum. “Sudah sampai bab berapa?” tanyanya lagi.
            “ Bab 4” sahutku. “ Antum sudah penelitiankan?” tanyaku lagi, jujur tak mengerti kenapa lisan ini bertanya semacam itu.
            “Alhamdulillah sedang merancang mohon doanya saja” sahutnya pelan. Masih nampak guratan sakit di wajahnya. Pucat dan lemah, dan sekarang harus berperang dalam laga skripsi ini.
            “Aamiin, Insya Allah.” jawabku singkat. Dan setelah itu dia pun pamit pulang dulu, memang sudah selayaknya dia istirahat dirumah pikirku.
♥♥♥
           
            Dua bulan setelah pertemuan singkat itu memang kami tidak pernah bertemu lagi, hanya sering kulihat dia keluar masuk ruang pak Farhan, dosen pembimbingnya. Alhamdulillah mimpi itu juga tidak kembali mengusik saya. Memang benar skripsi telah menyita pikiran yang menurut saya susah disandingkan dengan memikirkan dilema hati. Dan Alhamdulillah saya sudah selesai sidang. Lega....
            Sembari mengisi waktu menunggu wisuda saya memang dapat tawaran untuk menjadi guru privat anak SD kelas 4. Jelas tawaran itu langsung saya terima. Tawaran yang mungkin tak datang 2 kali. Waktu ini yang saya fokuskan bagaimana agar tidak terkesan menganggur. Jadilah alih profesi sementara menjadi guru les privat anak SD.
            Intensitas kehadiran saya dikampus memang sudah mulai berkurang. Namun entah kenapa mimpi ini kembali hadir. Ya lagi-lagi saya melihat dia dalam mimpi saya. Bukan hanya 1 kali tapi ini terulang menjadi 3 kali.
            “Saya heran mbak kenapa ya ikhwan itu kembali hadir dalam mimpi saya?” curhat saya kepada murrabi saya, mbak Aisyah.
            Beliau hanya tersenyum dan menjawab singkat “Kalau memang menganggu istikhorohkan saja.”
            Sebenarnya saya masih ingin bertanya panjang lebar, tapi teman-teman liqo’ mulai berdatangan. Malu juga kalau mereka mendengar curhatan saya. Tapi mungkin memang benar baiknya diistikhorohkan saja.  
♥♥♥
            Istikhoroh itu membawa satu jawaban, yang membuat saya masih tak percaya karena jawabannya adalah sekelebat wajahnya mengusik pikiran saya. Saya jadi teringat cara-cara untuk mendapatkan calon suami, salah satunya diperbolehkan melamar langsung.
            Izinkan saya mengutip kalimat yang terdapat dalam buku karangan Cahyadi Takariawan berjudul “Di Jalan Dakwah Aku Menikah”. Di zaman Nabi SAW seorang perempuan muslimah menawarkan dirinya kepada beliau, Tsabit Al-Bunani bercerita bahwa dia berada di dekat Anas r.a. dan disebelahnya ada anak perempuan Anas. Kemudian Anas berkata, “Seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW menawarkan dirinya seraya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau berhasrat kepadaku?” Maka puteri Anas berkomentar, “Betapa sedikit perasaan malunya.” Anas menjawab, “Dia lebih baik daripadamu, dia menginginkan Nabi lalu menawarkan diri kepada beliau.” (Bukhari).
            Makna dari hadist tadi adalah kebolehan seorang wanita untuk menawarkan diri kepada laki-laki saleh karena menyukai kesalehannya. Namun memang ini kurang lazim dilakukan oleh seorang wanita. Hem.... entah apa yang kini merasuki benakku. Dengan sengaja tertulislah kalimat ini dilayar HP.
Bismillahirrahmanirrahim...
Akhi bisakah kau menjadi imamku? Saya serius mengatakan ini. Ini bukan humor dan saya sadar mengatakannya. Saya memang tidak memikirkan antum terlalu dalam bahkan saya tidak mengerti mengapa antum hadir terus dalam mimpi saya. Saya sudah mengistikhorohkan semua ini. Antum tidak harus menjawabnya sekarang. Afwan.
Entah apa yang merasuki jiwa dan alam bawah sadar saya. SMS itu benar-benar terkirim ke no HP Faris. Ya Rabb. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya. Yang jelas saat itu justru yang hadir perasaan lega bukan penyesalan.
            Saya berharap Faris menganggapnya hanyalah sebuah pernyataan biasa yang tidak perlu difikirkan ataupun dibalas. Saya berharap Faris tidak menanggapinya. Atau entahlah apa yang akan terjadi. Yang jelas ini seperti sebuah keteledoran saya.
            Benarlah 1 hari kemudian HP saya bergetar, ada SMS rupanya. Dan Faris
 Bismillahirrahmanirrahim.....
Saya hanya manusia biasa yang tidak berhak memutuskan sesuatu tanpa seizinnya. Jodoh, rezeki, hidup mati sudah tertulis dalam Lauful Mahfuz. Ya Allah, engkaulah yang Maha Penguasa dan Maha Mengetahui sesuatu yang masih tersembunyi. Ya Allah pilihkanlah yang terbaik untuknya, pilihkanlah pendamping hidup yang baik untuknya. Aamiin. Afwan mungkin untuk saat ini bukan saya.
Sungguh bergetar hati saya membaca SMS Faris. Ya Rabb, ampuni hamba. Saya merasa bersalah akan ketidaksabaran dan ketergesa-gesaan sikap saya. Seharusnya saya bisa lebih bersabar. Sekarang dengan raut muka seperti apa yang akan saya tunjukkan ketika saya bertemu dengannya suatu saat nanti. Saya harusnya sadar semua ini tidak seharusnya dilakukan oleh akhwat seperti saya. Ya Rabb, malunya.....
♥♥♥
Jujur sampai saat ini, saya masih tidak percaya akan jawaban penolakannya secara halus. Namun saya sadar mungkin memang benar yang kemarin itu hanya bunga tidur, seharusnya tidak saya ambil sampai kehati. Ataukah mungkin yang kemarin itu adalah penjelmaan rasa saya, mungkinkah sebenarnya saya jatuh hati padanya sehingga muncul mimpi-mimpi semacam itu. Mungkinkah saat istikhoroh hati saya belum khusyuk dan masih didominasi olehnya sehingga yang muncul adalah dirinya. Astagfirullahaladzim.
♥♥♥
Langit hari sabtu ini begitu cerah, angin berhembus menyejukkan perasaan. Kicauan burung bersenandung merdu memeriahkan hari ini. Ini hari yang paling kami tunggu, wisuda. Auditorium kampus nampak ramai, ayah ibu kakak adik semua berkumpul menemai calon wisudawan/wati. Meriah sekali....
Wisuda adalah moment yang penting bagi kami, tapi untuk saat ini jujur saya cemas. Cemas karena sesuatu hal yang harusnya tidak perlu saya fikirkan.
Prosesi wisuda berjalan lancar dan menyenangkan. Tapi ini saya rasa sementara, karena setelah ini ada tantangan besar yang akan menunggu kita, ya berlomba-lomba mendapatkan pekerjaan. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana wajah saya ketika menganggur dirumah. Semoga hanya sebentar masa menunggunya. Aamiin.
♥♥♥
5 bulan berpisah dari kampus. Memang benar saya sudah mendapat pekerjaan dan sempat menganggur selama 3 bulan, sungguh 3 bulan itu sudah serasa 1 tahun saja. Sikap ambisius saya inilah yang membuat saya tidak sabar terlalu lama dirumah. Namun, alhamdulillah kini saya berusaha untuk menjatuhkan cinta pada pekerjaan ini.
dddddrrrrrrtttttt.... HP saya bergetar, SMS dari Jelita.
            Assalamu’alaikum.... ukhtyku cantik...
           Eh kemana aja nich? sudah lama tidak mendengar kabarmu,, BTW udah ada yang melamar    belum? kalau mau nikah kabar-kabar ya? ^^
Membacanya membuat saya senyum-senyum tidak jelas. Nich anak, udah lama tidak SMS, tiba-tiba SMS begituan. Bikin galau saja...
Saya fikir itu hanyalah SMS biasa dari seorang sahabat yang sudah lama tidak bersua dan ternyata 5 hari kemudian Jelita SMS lagi.
Assalamu’alaikum cantik.....
Hari ini ada dirumahkan?
Langsung saya balas
Wa’alaikumsalam, ada sayangku,, mau main po?
Dan langsung dia balas
Mungkin yang lain yang mau mampir.
Hah, aneh apa sich maksudnya. Tapi tidak terlalu saya gubris karena kebetulan pulsa saya tinggal 200 perak. Tapi kalau dipikir-pikir aneh juga ya. Ganjil.
13.00 WIB. Minggu siang ini, saya memang tidak ada agenda penting, akhirnya menghabiskan waktu membaca buku di depan ruang tamu. Dalam kekhusyukan dan ke asyikan tentang apa yang sedang saya baca, terdengar suara motor. Tepat berhenti di depan rumah. Hmm, siapa ya?
“Assalamu’alaikum...” ucap tamu itu.
Tanpa berfikir panjang setelah memakai kaus kaki, saya buka pintu rumah. Rasanya seperti mendengar balon meletus saat melamu. Kaget, ya kaget. Ini siapa? Apa mata saya tidak salah melihat? Ataukah saya cuma berhalusinasi?
“Menjawab salam wajib kan ukht?” tanyanya lagi.
“Hah” sahut saya kikuk. “Wa’alaikumussalam” lanjut saya yang masih tidak percaya kalau yang berdiri dihadapan saya ini Faris. Fikri Al-Farisi. Orang yang dulu pernah saya minta menjadi imam. “Oh ya silahkan masuk dan duduk”
Dengan jiwa yang masih setengah bingung saya langsung meluncur ke dapur, membuatkannya minum dan mengajak keponakan saya yang masih berumur 3 tahun untuk ikut keluar. Biar ada muhrimnya gitu.
“Silahkan diminum.” ucap saya sembari tersenyum. “ Kok antum tahu rumah saya?” selidikku.
“Jelita yang ngasih tahu.” jawabnya santai sembari mengambil gelas.
Jujur saya bingung dan kikuk apa tujuan dia kesini dan apa yang harus saya katakan padanya. Rasanya seperti mimpi saja. Kalau boleh lari. Saya pasti sudah lari sekencang-kencangnya, biarlah dia disini sendiri. Tapi ini sungguh nyata. Saya harus menghadapinya. Ya Allah jujur saya masih malu dengan apa yang pernah terjadi diantara kami.
Hening, ya suasana berubah menjadi hening, cukup lama 10 menit. Akhirnya saya beranikan diri untuk bertanya.” Jadi antum kesini...”
“Iya afwan saya jadi bingung sendiri” serobotnya. “Bismillahirahmanirrahim” ucapnya sembari menghela nafas. “Afwan ukht, mungkin saya lancang kesini tanpa memberi kabar terlebih dahulu, saya cuma ingin membalas anti.”
Mendengarnya mukaku langsung berkerut. Apa? Membalas?
“Afwan, maksud saya membalas kenekatan anti yang telah membuat saya kaget.” lanjutnya.
“Soal itu, afwan, afwan jiddan.” ucap saya penuh penyesalan. “Mungkin saya terlalu lancang dan terlalu berani, atau saya yang tidak tahu malu” tambah saya penuh penyesalan.
“Justru saya berterimakasih pada anti, kalau anti tidak mengingatkan mungkin saya tidak terlalu menyadari semua ini” ucapnya. “Setelah anti mengatakan itu jujur saya tidak melakukan istikhoroh saat menjawabnya, yang terpikir dalam benak saya ini bukanlah pilihan tapi pertanyaan tantang dan keharusan. Tapi saya menyadari kelemahan diri saya ketidakmampuan saya waktu itu. Akhirnya sampai saya menemukan buku dan membacanya.” ucapnya sembari menghela nafas. “Yang intinya percakapan Rasulullah SAW dengan ‘Ukaf bin Wada’ah Al Hilali, tentang mengapa ‘Ukaf belum beristri padahal dia sehat lagi berkemampuan. “ urainya. “Lalu beliau bersabda bahwa golongan umat beliau adalah yang mematuhi perintahnya yaitu menikah bagi siapa yang telah mempunyai kemampuan untuk menikah. Orang yang paling durhaka diantara kalian adalah yang membujang, dan orang yang mati paling hina diantara kamu ialah kematian bujangan, maka menikahlah!” urainya panjang lebar. Ya nampaknya Faris telah menghafalkan dialek ini semalaman. Meskipun demikian saya hanya bisa menunduk mendengar penuturannya. “Oleh karena itu ukht, ijinkalah saya yang meminta!” tandasnya.
Sontak jantung saya berdetak tak karuan, saya pegang erat adik ponakan dalam pangkuan saya.
“Saya bukannya menolak anti, tapi saya merasa kurang lazim kalau anti yang mengatakannya, maka ijinkan saya yang meminta!” ucapnya lagi kali ini sangat menohok hati. “Anti belum dikhitbah kan?” tanyanya.
“Belum” jawab saya dengan nada agak serak. Jujur tangis saya ingin pecah saat itu.
“Kalau begitu, bismillahirahmanirrahim, saya datang kerumah anti untuk mengkhitbah anti.” tegasnya. “Selayaknya dulu anti memberi waktu, maka saya pun juga akan memberikan waktu pada anti untuk mengistikhorohkannya.”
Ya Allah, saya tidak pernah menyangka semua ini kembali lagi pada saya. Sekarang dia yang memintanya. Dia sungguh-sungguh memintanya, betapa salahnya saya atas ketidaksabaran saya waktu dulu. Ampuni saya Ya Allah.
♥♥♥
Saya sudah menjawab permintaanya lewat SMS, bahwa saya bersedia dan keluarga saya pun sudah saya beritahu dan mereka setuju. Dua minggu setelah itu dia kembali datang dengan membawa keluarga besarnya. Kami pun mulai membicarakan keseriusan niat dan jadilah satu bulan kedepan kami menikah.
♥♥♥
Subhanallah, indah memang dan selayaknya kita sebagai akhwat bersabar dalam penantian ini kalaupun tak kuasa bolehlah memintakan kepada wali kita untuk melamarkan seseorang untuk kita. Kisah Anisa Lutfiya Izzah bisa saja terjadi dikehidupan nyata, namun bisa saja hanya menjadi sebuah fiktif semata. Semoga Allah selalu memberikan kita terutama akhwat kesabaran dalam penantian ini. Aamiin. Isilah masa penantian ini dengan memperdalam ilmu agama, memperbanyak membaca, istikhomah tilawah Al-Qur’an, dan menambah hafalan. Wallahu’alam.
Hari triardiyanti♥♥♥

Jumat, 22 Februari 2013

Cermin dan Genangan air

Gumpalan awan hitam mulai mendominasi langit. Lama-kelamaan gumpalan awan itu menguap dan menjadi titik-titik air yang basahi bumi. Gemercik air hujan memacu sebagian orang untuk mempercepat laju kendaraannya. Begitu pula dengan diriku, aku mulai mempercepat langkah kakiku menuju halte bis. Ehm, halte ini tampak telah berumur. Besinya telah berkarat dan nampak kurang terurus. Namun, tak apalah setidaknya bisa digunakan untuk berteduh sementara.
Ku kira, aku akan menjadi penghuni tunggal halte ini, namun ternyata datang seorang laki-laki yang berumur sekitar 35 tahun yang diekor oleh anaknya yang berumur sekitar 10 tahun. Laki-laki dengan baju batik berwarna biru itu nampak sibuk membersihkan rambut anaknya yang terguyur hujan. Pemandangan yang nyaris membuatku miris. Sebenarnya aku sangat rindu kasih sayang ayah, tapi ya sudahlah tak perlu ku buka lagi lembar lama.
“Bagaimana perjalanan kita hari ini?” tanya laki-laki itu sembari menatap sayang anaknya. “Kau senang kan, nak?”
“Iya, Yah, aku senang sekali!” ucap anak itu sembari tersenyum bahagia. “Tapi, kenapa kita harus mengunjungi rumah sakit jiwa?” tanya anak itu  polos.
Aku langsung tersentak mendengar kalimat terakhir anak itu. Sesuatu yang aneh. Tapi, aku jadi penasaran apa yang selanjutnya akan mereka perbincangkan. Spontan langsung ku pertajam pendengaranku.
“Kau tahu nak, bagaimana keadaan orang- orang disana?” tanya laki- laki itu.
 “Mereka terlihat bahagia, namun ada juga yang terlihat sedih, dan ada juga yang tiba-tiba mengamuk.” Jawab anak itu.
“Kau tahu, kenapa seperti itu?”
“Kata dokter, beban mental, tapi aku masih tidak mengerti maksud dokter?”
“Dengarkan ayah baik-baik ya, nak!” ucap laki- laki itu sembari merangkul anaknya. “Nak, dibalik hitam selalu ada putih dan dibalik putih tidak mungkin ada hitam, jika pun ada pasti akan membuat warna putih menjadi terlihat hitam, meski warna hitam itu hanya setitik!” jelasnya.
“Aku tak mengerti, Yah?” ucap anak itu polos.
“Ini, ayah punya kertas putih, coba saja kau coret, kau gambar sesukamu!” perintah laki- laki itu sembari memberikan selembar kertas HVS kepada anaknya. Anak dengan baju bergambar mobil itu, nampak masih bingung dengan apa yang dikatakan ayahnya. “Ayo, bukankah kau suka menggambar, nak? Tunjukkan pada ayah bakatmu itu!” dukungnya. Meskipun telah diberi dukungan, anak itu nampak masih bimbang untuk menggambar.
“Benar nich Yah, aku boleh menggambar?” tanya anak itu  polos.
“Ya bolehlah!” jawab laki-laki itu, semangat. “Kalau Hamif punya bakat salurin aja, jangan dipendam, nanti kalau dipendam bisa-bisa bakatnya hilang loh!”
“Memang bisa Yah?”
“Ya, bisalah nak!” ucap laki-laki itu meyakinkan. “Bakat itu memang sesuatu yang terpendam dalam diri, tapi jika dipendam terus tidak akan bisa berkembang. Contoh nyatanya, Hamif. Hamif kan bisa menggambar, tapi kalau Hamif gak pernah mau latihan menggambar, ya Hamif tetap bisa menggambar, tapi gambarnya biasa saja. Jadi ya karya Hamif tetap berkategori sedang, tapi kalau Hamif mau latihan terus, nanti Hamif bisa ngrasain gimana bikin gambar yang bagus. Istilahnya, Hamif bisa mengukur takaran yang harus dipakai karena Hamif udah belajar dari kesalahan-kesalahan yang Hamif lakukan pada waktu yang lalu.” Jelasnya panjang lebar. “Ya udah, sekarang Hamif gambar aja!” suruhnya.
Anak bernama Hamif itu mulai membuat gambar, coretan-coretan halus yang merupakan sketsa gambar cangkir. Beberapa detik kemudian, sketsa itu menjadi sebuah coretan tegas menyerupai gambar cangkir yang disekelilingnya terdapat tumpahan air. Gambar itupun diasir dengan pensil. Dan kini terciptalah karya beraliran naturalisme. Menurutku, sebuah gambar yang bagus, untuk anak seumurannya.
Hamif langsung memperlihatkan buah karyanya pada ayahnya.
“Bagus,” puji laki-laki itu. “Tahu tidak nak, sebelum kamu gambar, kertas ini berwarna putih, tanpa noda hitam. Nah, setelah kau gambar kertas ini menjadi coretan-coretan noda hitam, tapi ada dua noda hitam, yang pertama noda hitam dengan hasil karya yang indah dan yang kedua noda hitam dengan hasil karya yang jelek.” Jelasnya. “Noda hitam dengan hasil yang indah ataupun jelek itu adalah pencerminan diri kita yang mampu dirasakan atau dilihat orang lain. Jika kita mencoret menjadi noda hitam dengan hasil yang indah, nah itu sifat baik yang kita pancarkan keluar. Tapi jika kita mencoret menjadi noda hitam dengan hasil yang jelek berarti sifat yang terpancar adalah sifat buruk kita. Dan baik buruknya seseorang itu tergantung pada empunya. Jika dia ingin baik, buatlah karya yang mempesona, tapi jika ingin jelek, ya buatlah menjadi jelek. Sedangkan putih itu adalah sifat kita sesungguhnya.” Tambahnya panjang lebar. “Maka dari itu nak, janganlah lihat seseorang dari sudut depannya saja, tapi dari sudut dalamnya juga. Dan kamu juga jangan menilai seseorang dari sisi subjektifmu saja, tapi juga dari penilaian mereka terhadap diri mereka sendiri!” nasehatnya.
“Terus apa hubungannya dengan orang gila tadi, Yah?” tanya Hamif.
“Sebenarnya tidak ada hubungannya dengan orang gila tadi, tapi ada hubungannya dengan penilaianmu terhadap orang gila tadi!” jawab laki- laki itu sembari menyentuh hidung Hamif dengan jari telunjuknya.
“Berarti, maksud ayah, aku hanya melihat mereka dari sisi depan saja, belum ke sisi dalam?” tanyanya lagi.
  “Iya, mungkin memang benar mereka terlihat bahagia dan kadang sedih bahkan mengamuk, dan memang benar pula kata dokter kalau mereka punya beban mental yang terlalu berat, tapi pernahkah kita berfikir untuk tahu apa masalah yang menjerat perasaan mereka?” Dan setelah mendengar pertanyaan ayahnya, Hamif langsung menggelengkan kepala. “Nah, itulah fungsi kita melihat seseorang bukan hanya dari sisi kita, tetapi juga dari sisi diri mereka sendiri. Kita sebenarnya terlalu egois, memikirkan segala sesuatu itu dari apa yang kita lihat dan apa yang kita rasa, tapi jarang sekali kita ingin tahu apa yang sesungguhnya terjadi!” jelasnya.
‘Terus apakah kita harus selalu ingin tahu masalah orang?” tanya Hamif lagi.
“Ya, bukan seperti itu maksud ayah!” jawabnya sembari menghembuskan nafas. “Ayah menasehatimu seperti ini agar kamu tidak selalu menjudgement atau memberikan penimbangan atau pendapat selalu dari sisi kamu, tapi juga dari sisi orang itu sendiri. Dan itu banyak caranya, seperti, kamu membayangkan berada diposisi dirinya. Contohnya, guru Hamif memberikan PR, tapi kebetulan baru sekali itu saja PR tidak dicocokan, padahal Hamif sudah berusaha dengan semangat 45 untuk mengerjakan PR. Pastinya Hamif sebelkan dan akhirnya Hamif tidak suka ma beliau.” ucapnya sembari mengelus pundak Hamif. “Itu namanya penilaian dari sisi Hamif, padahal asal Hamif tahu, tugas guru itu banyak, bukan hanya sebatas mengajar dan meneliti Ulangan dan PR, tapi juga merekap nilai, membuat laporan kegiatan belajar mengajar, ya kalau Hamif tahu kerjaan guru tuh numpuk, kan Hamif jadi paham dan tidak sebel lagi ma tu guru.”
“Iya, Yah, Hamif ngerti!”
“Tapi sebenarnya, ayah ingin kamu tidak hanya bisa memahami orang, tapi juga memahami dirimu sendiri!” nasehatnya. “Dan cara untuk memahami dirimu sendiri salah satunya, kamu jangan hanya sedia cermin, tapi juga sedia genangan air!” tambahnya.
Aku terhenyak mendengar kalimat terakhir laki- laki itu, sebenarnya aku masih binggung apa yang dia maksud dengan tidak hanya sedia cermin, tapi juga sedia genangan air. Kini aku terhanyut dengan pemikiranku sendiri. Dan tanpa sadar laki- laki itu dan anaknya telah pergi meninggalkanku. Ternyata hujan telah reda.
Aku berlenggang dari halte dan melangkah menulusuri jalan setapak. Dan diriku masih dikuasi oleh pemikiranku, yang entah akan berlabuh kapan dan dimana. Semilir angin dingin menusuk pori-pori kulitku, menengakkan bulu kudukku. Hem, kalau sudah seperti ini, rasanya ingin cepat sampai rumah. Namun sepertinya aku harus menepis semua pemikiran tentang rumah, aku masih ada tanggungan untuk melihat nilai hasil semesteranku. Kalau ingat hal ini, jantungku jadi berdetak dengan kencangnya. Rasa takut, cemas, penuh harapan, berkecambuk dalam lubuk hatiku. Ku rasa usahaku lebih maksimal dari tahun lalu, dan aku yakin hasilnya pun lebih baik, meski aku tahu, soal- soal kelas 12 jelas lebih tinggi tingkat kesulitannya dibanding kelas 11 dan kelas 10. Tapi aku tetap harus optimis, ini semester terakhirku di SMA.
Tak sampai se per 4 jam, aku sudah sampai depan gerbang sekolah. Dan kini jantungku berdetak lebih kencang, 5 kali lipat dari yang tadi. Entahlah apa yang akan terjadi nanti, yang jelas kini aku pasrah, tapi hatiku masih rajin berdoa untuk keberhasilanku. Langkahku kini justru semakin lambat, rasanya tubuhku menjadi lemah, tak berdaya. Tapi aku tidak boleh seperti ini, aku harus maju dan berani hadapi kenyataan, sekalipun itu pahit.
Sekolah sepi, hanya segelintir anak yang nampak masih betah menghuni sekolah. Entahlah apa yang mereka kerjakan, yang jelas semua itu tak penting bagiku, yang terpenting bagiku adalah bergegas menuju papan pengumuman.
Daftar nilai belum lengkap, hanya ada Geografi, Sejarah, dan PKn, PKn? Melihat tulisan itu, mataku langsung tertuju pada daftar nilai anak kelas 12 IPA, Alhamdulillah, dapat nilai 85. Namun disebelah daftar nilai PKn, ada daftar nilai Matematika. Melihat nilai Matematikaku, aku langsung lemas, nilaiku 55. Padahal kemarin aku dah semangat belajar, dari mengerjakan LKS, belajar catatan, sampai latihan soal semesteran, dan rasanya kemarin aku bisa mengerjakan, bahkan aku sempat optimis nggak remidi. Tapi angka kembar itu (55) rasanya telah memutuskan harapanku.
Perasaanku kini bercampur aduk, tak karuan, entahlah! Aku kecewa, sedih. Dulu pas kelas 10 juga begini dan kelas 11 begini juga terus sekarang kelas 12 kenapa remidi juga? Aku masih tak mengerti, ingin sekali aku merobek kertas daftar nilai itu, jujur aku bukan hanya sedih, tapi juga malu, namaku terpampang jelas di papan remidi Matematika. Tapi ya, sudahlah, semua udah terjadi, kalaupun aku sobek hingga tu kertas tak berbentuk, tetap saja nilaiku belum tuntas.
Kini aku mencoba untuk tetap kuat hadapi kenyataan. Dan bergegas meninggalkan sekolah ini, mungkin suatu pilihan yang baik untukku. Namun baru beberapa langkah, langkah kakiku terhenti, masih ada daftar nilai lagi. Fisika, aku langsung mendekatinya, tapi dengan mata tertutup, aku mencoba untuk menenangkan pikiranku. Tak sampai 10 detik, aku langsung membuka mataku, aku masuk daftar remidi lagi, nilaiku 60. Aku nggak pernah nyangka, ini seperti mimpi buruk! Sungguh aku ingin lekas bangun, tapi ini bukan mimpi, ini kenyataan, yang mau tak mau harus aku hadapi.
Aku masih berada dalam alam sadarku, dan aku pun sadar kalau aku ini seorang laki- laki. Dan laki- laki bukanlah tipe orang yang cengeng, aku harus kuat. Tapi ini baru hari pertama, aku sudah panen 2 mapel yang siap diremidi. Huff, bagaimana dengan yang lain? Cukup! Aku nggak tahan lagi dengan semua pemikiran ini. 2 mapel itu adalah salah 2 mapel UNAS, ya Rabb! Iya, aku tahu semua itu, tapi sudahlah, percuma saja menyesali sesuatu yang tak bisa kembali.
Aku melangkah lemas keluar dari sekolah. Mimpi buruk ini akan berakhir, pasti. Tapi aku benci dengan semua ini. Aku sangat malu dengan teman-teman sekelasku, mereka sangat pandai akhir-akhir ini, dan aku, rasanya masih sulit untuk mengimbangi mereka. Apa yang harus aku lakukan? Apakah perjuanganku hanyalah sebuah kesia-siaan belaka? Aku tahu dengan pasti nggak ada yang sia-sia, tapi ini benar-benar memojokkan dan menyakitkanku. Dan aku tahu dengan pasti, ada 2 insan yang menumpukkan harapan padaku, ya ayah dan ibuku. Pertanggungjawaban seperti apa yang harus aku suguhkan untuk mereka? Aku tak ingin kecewakan mereka! Aku juga tak ingin sia-siakan setiap tetesan keringat, kerja keras mereka untuk menyekolahkanku! Tapi, apa yang terjadi hari ini serasa menyobek harapanku. Nggak! Aku nggak boleh putus asa, remidi bukanlah akhir dari perjuanganku. Aku masih harus menempuh UAS, UNAS, UMPTN, SMPTN, ya aku harus bangkit! Bagaimanapun caranya, aku harus bisa! Aku harus semangat, aku pasti bisa!
Semilir angin menyapaku, membuatku teringat kata-kata Dayat.
“Heran aku ma kamu, apa yang kurang dari kamu, udah rajin puasa Senin-Kamis, rajin Dhuha, Sholat 5 waktu bahkan di tambah sholat Rowatib, tapi kok untuk urusan nilai, kayaknya belum dikasih kemudahan! Padahal kamu belajarnya rajin, tapi tenang Kri, semakin tinggi level keimanan dan ketaqwaaan, semakin besar pula ujiannya!”
Entahlah, kata-kata dayat itu, memang tak tertata dengan rapi, tapi aku mengerti apa maksudnya. Mengapa Dayat melihatku begitu indah, dia sepertinya terpesona dengan pancaran keindahan yang tercoret pada noda hitam di diriku, tapi dia belum melihat noda putih yang tersembunyi dalam. Aku baru menyadari kalau laki-laki itu (yang ada di halte tadi) telah mengajariku tentang arti putih, dulu kukira putih melambangkan kesucian, pokoknya hal-hal dan sifat yang baik, tapi warna putih dalam kehidupan itu beda, nggak seperti warna putih biasa, warna putih kehidupan memancarkan dua warna, putih jernih yang melambangkan orang baik dan putih keruh yang melambangkan orang yang punya sifat baik, tapi tertutupi oleh sifat buruknya.
Pyuk...., kakiku menginjak genangan air. Kulihat bayanganku disana, tak nampak jelas, tapi ini bayanganku yang sesungguhnya! Ya! Genangan air itu menampilkan guratan hitam bayang diriku, tapi juga mampu tampilkan sisi terang bayangan diriku, meski tak sejelas cermin. Tapi aku tahu, kalau itu bayanganku. Genangan air memang tak mampu menampilkan bayangan wajahku secara jelas, tapi dia mampu menampilkan sisi terang dan sisi gelap diriku. Dia adalah cermin kehidupan yang sesungguhnya! Cermin yang membuatku sadar kalau selama ini aku terlalu terlena dengan cermin jernih yang terbuat dari kaca, hingga aku abaikan cermin keruh yang hanya genangan air.
Aku mampu melihat betapa busuknya diriku! Aku baru sadar, selama in aku terlalu sibuk dengan cermin dari kaca yang merupakan penjelmaan dari tiap tanggapan orang tentang diriku. Aku selalu bercermin lewat tanggapan baik saja dan aku lupa akan siapa sebenarnya diriku. Aku terlalu mengabaikan genangan air yang menampilkan segala kebenaran tentang diriku. Sekarang aku paham dengan kata- kata lelaki tadi. Aku juga mengerti kenapa kegagalan ini harus menimpaku, karena aku terlalu sibuk dengan keindahan diriku, sehingga ku lupakan keburukan yang bersemayam dalam diriku. Aku terlalu bangga dengan pujian orang, sehingga aku tak mampu melihat kelemahan dan kesalahanku. Jadi, selama ini aku sangat sombong. Astagfirullahaladzim, berani-beraninya diriku memakai selendang Tuhanku. Ternyata memang benar keindahan itu laksana topeng kehidupan yang harus segera ku lepas, aku harus maju tanpa topeng! Aku harus buang topeng ini jauh- jauh!
Brzzt...., sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi dan parahnya, aku terkena cipratan genangan air itu. Hampir saja aku mengumpat pengemudi tadi, tapi aku sadar ini semua pantas untuk ku terima. Bahkan ini semua bukanlah balasan yang sebanding atas apa yang diriku lakukan selama ini.

Maafkan khilafku Allah....            
                                                                                                                               Hari triardiyanti♥♥♥
♥♥

Rabu, 20 Februari 2013

SENJA

         
 Lembayung senja memayungi langit biru. Dari sana kutatap perpaduan warna begitu indah menentramkan hati. Masih saja kupertahankan laju motorku, yap 20 km/jam, saya sengaja melakukan itu. Ingin rasanya mengulang semua yang pernah terjadi disini kala senja itu. Bersepeda motor beriringan dengannya dan seorang temannya selepas bertandang ke walimahan salah seorang teman. Saya dan dia kini akan terpisah jarak. Ya, saya akan meraih cita saya kembali lagi ke Yogyakarta dan merajut mimpi untuk bekerja di Rumah Sakit.
           “Dik Faya..” tuturnya lewat WA waktu itu. “Barakallah ya, Magelang menunggu buah perjuanganmu.” lanjutnya. Nice, jujur saat itu tak sepatah kalimat pun saya tulis sebagai balasannya. Hanya sebuah senyum dan desir perasaan yang tak menentu. Kalimat terakhirnya begitu aneh, namun saya berfikir itu pasti hanya sebuah doa biasa yang tak bermakna sampai kehatinya. Jelas saja, karena semenjak kesibukannya untuk mengurus bisnis, dia nampak biasa-biasa, sikapnya aneh, membalas sms pun hanya sekenanya, terbilang sangat singkat dengan nada yang datar, tak biasanya yang selalu berusaha memberikan kekuatan semangat lewat kata. Tapi memang sudah selayaknya semacam itu, memang sudah seharusnya seperti itu menjaga hubungan komunikasi antara ikhwan dan akhwat.
            Telpon saya langsung berdering. “Mbak Khaira” batinku. Saya baru sadar ini sudah hampir jam 15.00 WIB. Langsung ku percepat laju kendaraanku. Hari ini saya Liqo’. Mungkin ini bisa disebut liqo’ perpisahan. Rumah mbak Hesti menjadi tempat favorit kami berkumpul, karena memang strategis dan kondisi lingkungan yang nyaman. Seperti biasa, saya disambut mbak Hesti dan mbak Khaira. Salut dengan murabbiku satu ini, begitu serius dan tepat waktu. Setelah itu satu persatu teman liqo’ berdatangan.
            Dari awal liqo’ hingga akhir saya hanya terdiam, fokus mencatat dan menunduk bahkan sesekali saya tersenyum karena disapa mbak Hesti. Kebetulan saat itu kami sedang membahas fiqh nikah. Jelas mbak Hesti tahu sekali kalau saya memang ingin cepat menikah, makanya beliau suka sekali menggodsaya.
            “Dik Faya gimana RSI Nur Jannah nya?” tanya mbak Khaira pelan. Saya tergagap dengan pertanyaan tadi, sedari tadi saya masih bermain dengan pikiranku. Saya baru sadar kalau Ikhwan itu telah meracuni pikiranku hingga jiwa saya tak terasa hadir di lingkaran kecil ini.
            “Oh iya mbak, Insya Allah minggu depan saya sudah aktif kerja di RSI Nur Jannah” sahutku disambut senyum lega seluruh teman liqo’.
            Alhamdulillah tadi pagi, saya mendapat panggilan untuk tandatangan kontrak dari RSI Nur Jannah. Iya Alhamdulillah cukup menggembirakan. Menginggat penantian ini cukup lama. Dan saya tahu betul ternyata alih profesi tidak membuat saya bahagia. Tapi jujur saya senang karena banyak pelajaran yang saya dapatkan saat menjadi guru SD. Mengelola kelompok, management waktu, ikhtiar, parenting, agama, sampai memahami psikologis anak. Memang tidak menyeluruh tapi setidaknya ini pengalaman pertama yang tidak bisa dilupakan.
 ♥♥♥ 
             Yogyakarta menyambutku dengan mesra, iya saya bahagia disini, bahkan tak pernah saya sangka ibu kost mempunyai kebun strawberry ukuran 2 x 2 dan dari teras tingkat rumah kost nampak hamparan kebun strawberry mini, jadilah hampir sering saya memandang indahnya kebun ini. Meski belum tercapai impian tuk memiliki kebun sendiri, setidaknya telah tercapai keinginan memandang kebun ini tanpa membayar dan merawat. Alhamdulillah, penghuni kost ini pun seperti cukup ramah, sebagian besar mahasiswi, tapi tidak masalah, toh umur saya tidak jauh beda dengan mereka. Namanya juga hidup, butuh perjuangan. Saya berjuang untuk kerasan di tempat kerja, adaptasi tentu, kerinduan pulang tentu, namun profesional diperlukan. Saya kelola hati ini, saya tata agar niat untukNya tetap terjaga sehingga, terasa ikhlas dan ringan semua yang dikerjakan. Banyak pelajaran hidup disini, konsisten dalam berkerja, kreatif berfikir, dan kedewasaan.
               Februari, Maret, April 3 bulan cukup untuk adaptasi, tebar senyum kepada senior dan senior lain profesi. Rutinitas pekerja jelas membuat jenuh, hampir mirip seperti yang  saya rasakan waktu PKL rumah sakit dulu. Kini baru  saya tahu bekerja pada kompetensi saya pun tidak mudah, capek dan tentunya butuh keikhlasan. Oke, don’t worry saya yakin bisa! “Semangat Faya!”
             “Mbak Faya, tolong bantu saya ya skrining pasien baru diruang mawar,” ucap bu Dewi, salah satu akhwat rumah sakit itu yang 1 bulan lalu baru saja merasakan sensasi dan kenikmatan menjadi ibu baru. “Badan saya pegal-pegal ni, mau cuti dulu dua hari, bukan hanya skrining saja ya mbak, yang jelas tugas-tugas saya dibangsal mawar tolong dikerjakan ya!” timpalnya yang lalu berlalu menuju ruang ahli gizi. Setelah dirangkulnya sebuah tas punggung, dia berlalu sembari tersenyum dan berkata “Jazakillahu khoiron katsir, semangat!” dan menepuk pundakku.
             ‘Whats? Kapan saya menyetujui ucapannya?’ batinku, yang serempak kedua mata ini langsung menatap meja bu Dewi yang penuh dengan setumpuk tugas. Sampai-sampai saya tak sadar kalau disamping saya sudah berdiri pak Hamdan, dia adalah koordinator ahli gizi ruangan. Sebenarnya pantasnya dipanggil mas karena umurnya juga masih 27 tahun, namun prestasi akademis memuaskan hingga kini hampir mendapatkan gelar Magister Kesehatan. Satu yang perlu saya tambahkan beliau belum menikah, tapi ya so what? Ternyata memang tak banyak yang antri karena segan dengan sikap dan kepandaiannya. Masih ingat saya, saat pertama kali ditraining dia dilapangan bersama 1 ahli gizi baru di rumah sakit ini. Ternyata yang dia inginkan adalah kerja teliti, cermat dan tepat. Untunglah bukan kerja perfect, namun tetap saja satu kesalah langsung membuat mata bulat yang tertutup kacamata melirik saya tajam dan anehnya dengan disertai senyum sinis. Oke, tak apalah bagi saya ini adalah tantangan menjadi ahli gizi, ini dunia nyata, kami menyentuh pasien jadi musti hati-hati, nice!
            “Woy anak kecil!” ledeknya dengan nada nyaring tanpa dosa, yap sejak pertama kali bertemu memang dia sudah mengutarakan dengan kalimat, “kasihan ya kamu, ahli gizi tapi stunted”, maklumlah tinggi saya cuma 148 cm. Ya Rabb dulu sempet benci banget ketemu dia gara-gara dikatain seperti itu, tapi sudahlah toh dia relasi kerja saya, harus baik-baik. Sudah bisa menjadi pegawai rumah sakit ini saja merupakan satu prestasi yang membanggakan. “Ayo kerja, pasiennya bisa mati kelaparan kalau kamu kelamaan bengong gak bikin menu diit!” timpalnya.
             “Sip pak!” sahutku dengan senyum lebar. Saya sudah biasa kalik dibegituin dia, jadi saking kebalnya saya udah anggap dia alarm penyemangat. Habis tiap dia ada diruangan, hampir satu isi ruangan mendadak kerja cepat, serius dan tentunya memuaskan. Yang membuat saya salut dengan dia adalah kata-katanya, ‘ IPK kamu 3,15, saya gak masalah! Karena saat kerja yang dibutuhkan bukan IPK tapi karya nyata, pemikiran nyata, itu kan cuma simbol prestasi, belum tentu kamu dapat IPK segitu karena kamu males-malesan atau gak mau ngerjain tugas. Saya lihat IP mu jatuh di semester 1, 2 dan 3, nyatanya saat semester 4, 5, 6 IP mu cukup bagus, rata-rata 3,3. Saya percaya kamu terlalu jujur, hingga mengerahkan semua tenaga dan pemikiranmu sendiri saat ujian maupun ngerjain tugas, saya hargai prestasimu, toh diijazahmu terkategori sangat memuaskan. Ingat ya, saya gak mematok tugas kamu ataupun kinerjamu dari IPK segitu, karena saya percaya sebenarnya potensimu lebih dari itu.’ Super sekali, tak pernah menyangka itu kalimat yang bakal pak Hamdan ucapkan. Kalimat dipenghujung training saya dan teman saya, Imel. Maka dari itu saya selalu berusaha untuk tidak mengecewakannya, terlebih atas kepercayaannya menempatkan saya sebagai tim ahli gizi ruangan. Cuma satu katanya, saya percaya lulusan Akzi. Nice sekali! Itulah salah satu yang menguatkan saya untuk bekerja disini, meski terkadang kerinduan terhadap Magelang selalu terlintas. Masih ingat telpon ibu waktu itu.
           “Ya, gimana kabarnya? Seneng kerja disana, kalau butuh apa-apa sms saja nanti kirim lewat paket!” ucap ibu yang memang terdengar setengah menampik tangis rindunya. Iya meski Yogyakarta dan Magelang dekat, tapi kerja secara shift membuat saya kurang leluasa pulang ke Magelang.
           “Alhamdulillah baik, iya bu. Ibu dan bapak gimana kabarnya baik kan, sehat kan, Faya rindu” ucap saya dengan senyum terkembang, namun saya akui saat itu mata saya mulai berkaca-kaca. 1 jam lebih kami berkangen ria lewat udara, hingga pulsa ibu habis. Baru kali itu beliau menelponku hingga pulsanya habis. Maaf ya bu menghabiskan pulsamu, bersabarlah bu, pak, ini adalah pembuktian cinta Faya. Faya di Yogyakarta untuk kalian, untuk membalas cucuran keringat kalian demi biaya sekolah Faya selama18 tahun, dari TK hingga kuliah D3.
             Saya jadi teringat pesan ibu sebelum berangkat ke Yogyakarta. “Kini kau menjadi imam sholat ibu, dulu ibu yang selalu mengimami sholatmu. Itu tanda ibu percaya pemahaman agamamu lebih baik dari ibu. Ibu yakin kamu gadis yang sholeh, tetaplah julurkan jilbabmu menutup dada, tetaplah seperti ini, jagalah dirimu dan dienmu baik-baik. Bergaulah dengan baik dan jangan melampaui batas. Tegaskan prinsip dienmu dalam bergaul. Jagalah tilawahmu, sholatmu, puasamu, zakatmu dan dzikirmu. Dan berdoalah, berdoa itu penting jauhkan malapetaka, datangkan cinta dan ridhoNya.” ucap ibu sembari mengelus kepala saya. Saat itu saya sedang sungkem dengan beliau, jujur saat itu air mata saya menetes tidak berhenti mengalir.
            “Bekerjalah dengan sungguh-sungguh, jagalah amanat yang diberikan. Layani orang dengan baik, jangan sampai salah memberikan diit ataupun suatu keputusan. Bekerja dengan baik ya, kalau di masyarakat janganlah ikuti organisasi yang menyesatkan, jangan sampai ikut yang aneh-aneh. Yang biasa-biasa saja. Bapak dan ibu selalu berdoa yang terbaik untukmu.” tambah bapak. Saya langsung mencium kedua pipi mereka dan bergegas naik motor mengingat langit mulai mendung. Langit memang mendung, tapi hatiku tidak semendung langit kali ini. Ini senja terindah dalam episode hidupku. Aku akan menjadi ahli gizi esok.
♥♥♥ 
           Meski bekerja disini lumayan menguras tenaga dan pikiran, namun alhamdulillah liqo’ tetap jalan. Senja ini memang berbeda dari senja minggu kemarin, jujur dari tadi malam sudah susah tidur padahal pagi-pagi buta saya harus berangkat ke RSI Nur Jannah. Taman mini dibelakang rumah mbak Nurfi yang biasa mereka sebut Roudotul Jannah alias RJ merupakan tempat favorit lingkaran kami. Kalau boleh berimajinasi mungkin saat kita tilawah Al-Qur’an disini seperti diliputi lingkaran yang memancarkan cahaya ke langit, diliputi oleh malaikat yang mendoakan keselamatan dan kebaikan dunia akhirat. Indahnya. Semoga bukan hanya imajinasi saja semoga kenyataan bukankah
 “Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu masjid dari masjid-masjid Allah kemudian mereka membaca Al-Qur’an dan mempelajarinya, melainkan turun kepada mereka ketentraman, diliputi dengan rahmat, dinaungi oleh malaikat, dan disebut-sebut oleh Allah dihadapan mahluk-Nya.” (HR. Muslim) 
Subhanallah. Aamiin ya Rabb.
             Mbak Nurfi adalah murrabbiku yang baru, beliau sudah menikah. Suami beliau cukup aktif dalam dakwah kampus dan kini aktif bekerja di sebuah rumah zakat di Yogyakarta. Umur pernikahan mbak Nurfi terbilang masih muda yaitu 3 tahun, mbak Nurfi dan pak Alif nama suaminya dikarunia keturunan seorang ikhwan bernama Arif. Sekarang calon mujahid kecil itu berumur 2 tahun.      
             Teman-teman liqo’ baru saya ada 5 orang, 3 orang mahasiswi dan 2 orang pekerja. Mereka juga merantau sama seperti saya. Nisa, Acik, asli Jakarta dan masih kuliah disini. Acik memang terbilang akhwat gaul dan suka sekali dengan full colour tapi masih sewajarnya, sedangkan Nisa tipe akhwat semester akhir yang gemar hiking. Rossa, asli Magelang kalau dia ini ke Yogyakarta karena bekerja, dia komikus loh, gila ngambar dan imajinatifnya mirip saya, bedanya kalau saya imajinatif nulis kalau dia imajinatif ngambar. Nah si Rossa ini baru 1 bulan kemarin nikah. Cie pengantin baru, saya sering curhat sama dia maklum kita kan satu aliran, aliran imajinatif hehehe. Lalu Syarah, nah kalau dia itu bekerja di apotek nah dia itu satu-satunya yang asli Yogyakarta selain mbak Nurfi. Orangnya teliti banget, maklum anak farmasi dan pecinta kebersihan. Jadi boleh dibilang saya cukup menyatu dengan mereka karena dari segi umur yang tidak terlampau jauh, terutama si Rossa yang dulu memang mantan penghuni kamar kost sebelah saya.
            “Dik Faya, sudah siapkan kalau suatu saat nanti saya main kerumah?” selidik mbak Nurfi yang jujur membuat saya tersedak. ‘main kerumah?’ Maksudnya apa ya?
            “Iya siap lah mbak” sahut saya heran.
            “Aku ikutan mbak” sambung Nisa. “Mbak Faya disana ada gunung apa aja?” lanjutnya.
            “Merapi” sahutku sambil tersenyum kecut. Mulai deh nich anak berimajinasi naik gunung. Saya rasa tadi itu pertanyaan basa-basi karena dia kan sudah 2 kali turun gunung naik gunung Merapi. Heran deh lama-lama saya doain dapat orang gunung hehehe. Asyik kalik ya tinggal di gunung kan udara masih segar banyak tumbuhan, lahan luas.
            “Gak bosan pa anti naik gunung turun gunung? mending bikin rumah digunung aja?” serobot Rossa.
            “God idea mbak, nanti dibikinin rumah disana ya mbak, mbak yang desain, rumahnya lantai 2 dari kayu pokoknya bahannya alami, ruang tamunya ada tungku eh perapian kayak luar negeri itu loh bla...bla...bla...” sambung Nisa.
            Ya... ya.... oke deh senja itu palah tidak jadi sesi qordho ya rowa’i tapi palah talkshow antara Rossa dan Nisa. Mbak Nurfi, Acik, dan Syarah palah nimbrung dan nambah bumbu-bumbu penyedap pula hehehe kayak masakan aja. Sedangkan saya asyik mencicipi makanan, maklum lapar. Kalau lapar gini baru sadar kalau sekarang beneran jadi anak kost. Tapi sebenarnya masih ada yang menganjal dihati, tadi maksud pertanyaan mbak Nurfi apa ya.
 ♥♥♥ 
              2 Hari lagi tanggal merah, yee tadi sich pak Hamdan bilang "tuh ada tanggal merah pulang lah perbaikan gizi." Hahaha salah tuh pak Hamdan bukan perbaikan gizi tapi perbaikan malarindu, kangen rumah.
              Saat sedang asyik membereskan peralatan kerja, HP saya berdering, sms rupanya. Isinya mbak Nurfi ingin mampir kerumah pas liburan besok. Hem, agak aneh rasanya tapi tidak apa-apa toh saya palah senang mereka main kerumah. Asyik besok juga kebetulan kakak saya dari Jakarta pulang, maklum mbak saya udah kangen rumah, bapak ibu juga sudah kangen cucu. Wah lengkap, pasti ramailah rumah saat itu. Tanpa berpikir panjang langsung saya balas,“Wa’alaikumussalam boleh donk mbak.”
             1 mei saya memang dapat jatah shif siang. Jadi baru pulang kerumah pada paginya, 2 Mei. Hem, saking semangatnya pulang, habis subuh langsung melesat ke Magelang. Dingin tak terasa. Baru sampai jembatan fly over di Jombor aja senyum udah tersungging. Bahagia rasanya, akhirnya anak bungsunya bapak ibu pulang. Ternyata Magelang sudah berubah makin cantik saja, baru sampai Kali putih saja laju motor saya perlambat menjadi 40 km/jam padahal jalan sepi, saking senangnya pulang magelang dinikmati betul-betul udara segar Magelang dan jalan yang kini tambah halus. Diaspal terus coy! Oh Magelang I’m comming..... teriak saya dalam hati.
               Magelang adalah kota kecil yang begitu sejuk, kata orang Magelang itu kota tenang jarang ada keributan, orangnya juga ramah termasuk saya hehehe. Disini terkenal Borobudur ada juga arum jeram kali elo. Oh ya, sampai lupa ada taman bunga alias kyai Langgeng. Nah yang ini semacam TMII tapi bentuk mini nya.
               Kalau rumah saya dekat dengan bukit Tidar, bukit Tidar itu biasa dipakai untuk upacara bendera 17 Agustus, dulu pas masih SMA, saya dan teman-teman jalan kaki bersama menuju puncaknya dan upacara disana. Disana juga ada makam Kyai Spanjang. Setahu saya dulu memang banyak orang yang sering ziarah kesana. Kalau waktu kecil, saya sich bukan ziarah tapi naik puncaknya, biasa iseng bersama tetangga saya. Bukit tidar sendiri masih asri bahkan ada kera yang masih menghuni sana.
             06.30 WIB saya sudah sampai depan rumah disambut mesra bapak saya yang sedang asyik menyapu trotoar depan rumah kami. Dan ternyata dibelakangnya sudah ada pengikut kecil, dik Ammar duh lucunya nich anak. Jadilah kami duduk diteras sambil cerita ngalor ngidul dan tanpa sadar saya masih memakai jaket dan menggendong tas ransel.
             12.30 WIB mbak Nurfi sms saya kalau setengah jam lagi dia akan meluncur kerumah. Agak heran sebenarnya karena beliau belum tahu persis rumah saya tapi tidak tanya sama sekali dimana letaknya dan lain sebagainya. Heran, tapi entahlah tidak begitu saya pikir sampai ke hati karena setahu saya nenek pak Alif sendiri orang Magelang, tinggalnya di daerah rindam, jadi mungkin pak Alif lumayan tahu letak rumah saya.
             13.00 WIB rombongan kecil itu datang kerumah, tapi saya tidak menyangka ada 2 ikhwan yang mengekor keluarga kecil itu. 2 ikhwan yang tidak asing lagi bagi saya. mas Fath dan mas Alam. Saat itu jantung saya seperti ingin saya letakkan saja karena saking berdetak kencangnya. “ada apa sebenarnya ini” batin saya.
             Alhasil heninglah suasana waktu itu. Yang terdengar hanya celotehan Mbak Nurfi yang sibuk menyuapi roti brownies ke Arif. Pak Alif sendiri terlihat sibuk mengeluarkan map hijau entah apa isinya. Sedangkan mas Fath sibuk menikmati teh hangat dan mas Alam nampak gelisah dan sesekali memandang ke arah pak Alif.
             Mas Fath dan mas Alam adalah kakak kelas saya waktu SMA, tapi kami beda SMA. Kami kenal pada saat ada perkumpulan aktifis dakwah sekolah. Isinya anak Rohis dari beberapa SMA. Ya kami dibina jadi mentor untuk adik kelas. Mengisi kajian pekanan. Dan setelah menjadi alumni, kebetulan kami masih aktif menghidupkan dakwah sekolah, mengadakan acara ini itu dan jadilah cukup kenal. Bahkan dulu sebelum jadi alumni sering ada acara silaturahmi keliling 2 bulan sekali makanya cukup paham rumah sesama anggota. Terlebih lagi setelah menjadi alumni, kami dibentuk menjadi trainer yang mengisi atau menjadi panitia pembantu kegiatan dakwah sekolah. Jadilah ukhuwah yang mengakar sampai sekarang.
            Kalau pun dulu saya menaruh hati pada mas Fath mungkin itu kekhilafan saya yang kurang bisa menjaga hati. Karena tidak selayaknya kita mengotori dakwah ini dengan perasaan semacam ini. Saya tahu cinta itu fitrah tapi cinta sesama aktifis akan menyebabkan loyo, tidak bersemangat berdakwah, niatan berdakwah terkotori, dan dikawatirkan menjadi timbul fitnah. Maka betapa sulitnya menjaga hati dan betapa pentingnya gadhul basor agar hati lebih terjaga. Virus merah jambu adalah virus yang susah dideteksi dan mampu melumpuhkan ghiroh penderitanya apabila tidak dikelola dengan baik.
            “Afwan kami datang siang-siang,” ucap Pak Alif memecah keheningan saat itu. “ Mungkin mengganggu istirahat dik Faya” lanjutnya yang disambut senyum manis mbak Nurfi kepada saya.
           “Emmm,, tidak mengganggu kok, palah senang jadi rame.” ucap saya sedikit tergagap.
           “Begini dik, mungkin awalnya saya kenalkan dulu dua ikhwan ini?” ucap mb Nurfi dengan senyum meledek. Saya langsung memanyunkan bibir sembari menepuk halus pahanya.
             “Dik Faya masih inget saya dan teman saya ini kan?” sahut mas Fath. Mendengarnya saya hanya tersenyum kecil.
             “Ya, nampaknya dua makhluk ini tidak usah dikenalkan pasti masih ingat ya dik Faya?” serobot pak Alif.
             “Nggih pun langsung aja mas?” alih mbak Nurfi sembari melirik Pak Alif.
             “Iya sebelumnya saya mau memperkenalkan diri, saya pak Alif murabbi dari Alam. “ ucapnya pak Alif. Saya hanya terheran tidak mengerti kemana sebenarnya arah pembicaraan akan dibawa.
             “Dik afwan sebenarnya prosedurnya bukan seperti ini harusnya mbak kenalkan dulu baru setelah setuju dibawa ke rumah. Tapi pak Alif dah yakin tuh, dah pede katanya Alam juga sudah mantap.” serobot mbak Nurfi yang jujur langsung menohok hati saya. Jujur saat ini ingin rasanya menyingkir, tapi tubuh terasa mematung di kursi cokelat ini.
            “Iya benar, afwan sebelumnya.” tangkas pak Alif. “Kami kesini untuk proses ta’aruf.” Kalimat terakhir pak Alif semakin membuat saya tambah mematung. “ Afwan kalau membuat dik Faya bingung. Kemarin dik Faya sudah mengisi biodata begitu juga Alam mengisi biodata. Beberapa biodata sudah sampai tangan Alam dan sudah diistikhorohkan ternyata anti jawabannya?” tambah pak Alif yang langsung memberikan map hijau yang ternyata berisi biodata mas Alam yang kemudian diberikan kepada mbak Nurfi dan disalurkan kepada saya. Ya tangan saya sampai dingin memegang map itu, mbak Nurfi yang mengetahuinya hanya melirik dan tersenyum manis kepada saya.
            “Afwan ya dik Faya, ini semua usulan saya dan sudah di acc Pak Alif.” ucap mas Alam pelan. “Afwan kalau saya lancang atau terlalu nekat, mungkin anti kaget atau marah, tapi jujur saya rasa niat baik harus disegerahkan, namun semua keputusan sekarang ditangan anti. Anti dapat mempelajari dulu proposal saya. Saya juga tidak mengharuskan anti menjawabnya sekarang. Anti istikhorokan dulu saja” lanjutnya bijak.
            Saya tidak menyangkan kenekatan yang pernah saya lakukan dulu dibalas dengan sangat indah saat ini. Jujur meski kata-kata itu bukan diucapkan mas Fath, tapi saya bahagia karena ada ikhwan seberani dan semantap itu. Ini yang saya impikan. Bukti nyata bukan gombalan semata. Setahu saya mas Alam memang ikhwan yang tegas, serius, dan fokus, agamanya juga bagus. Keluarganya juga baik. Tapi semua itu tetap harus saya istikhorohkan dan saya ceritakan dengan bapak ibu.
         “Bapak ibu ada?” ucap pak Alif.
         “Emmm ada” ucap saya yang langsung masuk dalam rumah dan memanggil bapak ibu. Saya tidak mengerti semuanya terbilang cukup cepat. Mas Alam langsung berkenalan dengan bapak ibu dan membicarakan niatan baiknya tanpa mendzolimi saya sama sekali karena berkali-kali diucapkan, namun itu tergantung dik Faya.
          2 hari setelah pertemuan itu saya langsung didesak pertanyaan oleh bapak mengenai kelanjutan niatan baik ini. Tidak menyangka bapak setuju dengan niatan baik mas Alam untuk menikahi saya. Padahal setahu saya bapak orang yang cukup teliti memilih calon mantu dan mensyaratkan kemapanan. Sedangkan mas Alam baru saja lulus kuliah dan belum diwisuda. Status pekerjaannya juga masih asdos (asisten dosen). Kata bapak, "Bapak sudah terlanjur mantap dengan keberanian dan kebaikan agama anak itu, bapak yakin dia mampu bertanggungjawab, tidak nampak raut muka ingah-ingih, yang bapak rasa justru aura keikhlasan kemantapan dan tanggungjawab bukan aura napsu dan kenekatan semata."
           Benarlah 2 minggu kemudian kami bersepakat untuk bertemu secara resmi dan mas Alam berjanji akan membawa keluarganya silaturahmi ke rumah. Akhir Mei tepat dibawah naungan senja itu kami melangsungkan akad nikah. Saya memandangkan penuh haru dan syukur. Pangeran berbaju merah yang selalu saya hadir dalam mimpi saya itu, yang ternyata adalah mas Alam. Benarlah dugaan saya saat membuka koper bajunya hampir 90% bajunya berwarna merah.
             Awal Juni mas Alam diwisuda, saya masih ingat waktu saya wisuda dulu sempat iri melihat teman saya ditemani suaminya. Sekarang tercapailah keinginan saya yang justru menemani suami saya diwisuda.
            Memang benar mas Alam orang bertanggung jawab, ternyata selain menjadi asdos dia juga berjuang menjadi guru les disebuah lembaga bimbingan belajar. Dia sungguh-sungguh mencari nafkah, melamar pekerjaan dan alhamdulillah awal Agustus mas Alam diterima menjadi dosen di sebuah universitas di Yogyakarta.
            Sungguh indah rencananya... Senja itu ku pandang langit merah kekuningan dilengkapi oleh pelangi... Owh begitu indah senja ini. Diterpa semilir angin yang menyejukkan dan kini aku tidak sendiri ada dia disampingku. Melengkapi separuh dienku dan merangkulku menuju jannahMu.....aamiin
Jazakallah pelangi senjaku....
Memang benar indahnya menikah dijalan dakwah...... karena kami menikah bukan atas materi atau nafsu, tapi kami menikah untuk memenuhi perintahnya untuk menghindari maksiat dan tentunya untuk saling menguatkan di jalan dakwah ini....

♥♥♥

            Allah memang tidak memberikan apa yang kita inginkan tapi Allah memberikan apa yang kita butuhkan untuk menuju apa yang kita citakan. Yakinkan dirimu Allah lebih tahu yang terbaik untukmu, cintakan sepenuh ragamu untuk TuhanMu bukan untuk hambanya karena belum tentu hambaNya yang kau cintai itu untukmu, jodohmu janganlah mendekte Allah dengan pede menyebut namanya dalam doamu....

            Allah lebih tahu yang terbaik untukmu, Allah telah mengariskan semua dalam lauh Mafuz.... Dia tahu siapa yang terbaik untukmu, dia telah mengatur rezekimu... janganlah kau takut miskin, menikahlah Allah akan melindungimu dari bahaya zina dan menikahlah Allah akan memenuhi kebutuhanmu....

             Salah kalau kau bilang aku belum siap menikah karena masih muda, masih menganggur, belum membahagiakan orang tua... Kalau begitu akankah umurmu 40 tahun dulu kau siap menikah? Saya percaya kesiapan itu dari hati karena kita punya tekad dan niat suci. Ikhwan jangan salahkan kalau akhwat incaranmu justru dinikahi oleh ikhwan yang belum mengenal liqo’ atau halaqah sepertimu atau ikhwan lain yang lebih punya misi keneranian. Karena kau terlalu lama berfikir dan menunda. Bukankah kau sering berkata “fastabiqul khoirot” lalu kenapa menjadi menyerah saat mendapat tawaran menikah, bukankah menikah juga termasuk kebaikan? Malukah kau kalau yang mengatakan niatan suci itu justru akhwat?

"Wahai para pemuda, barangsiapa telah mampu diantara kalian hendaklah melaksanakan pernikahan, karena ia dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan (kehormatan). Barangsiapa tidak mampu hendaklah berpuasa, karena ia menjadi benteng perlindungan." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasa'i)

“Dan nikahkanlah orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak nikah diantara hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya, dan Allah maha luas pemberianNya lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur:32)


                                                                                                                                    Hari triardiyanti♥♥♥

Selasa, 19 Februari 2013

Hey...manusia!!

Hey manusia....Ya saya juga manusia tapi,,, geleng-geleng kepala saja kalau mendengar, membaca, dan melihat semua itu...
Heran rasanya kita semakin tercekik kebutuhan hidup, hasrat dan nafsu untuk bisa bertahan hidup.... saya rasa ayampun dalam keadaan lapar tak kan tega memakan anak ayam temannya.....
 Tapi manusia kenapa jadi seperti ini... apakah terlalu dan harus sesadis ini untuk bertahan hidup.....
 Contoh nyatanya "MAKANAN"... orang untuk bertahan hidup memang memerlukan sesuatu yang dapat diolah tubuhnya untuk menghasilkan energi.. dan itu terdapat dalam makanan.... Jaman sekarang banyak sekali pedagang makanan,, berjualan makanan pun bukan hanya butuh modal kecil tapi lumayan besar... memang masih banyak sich pedagang makanan jujur,, tapi ada juga yang nakal... mencampur borak, formalin, pewarna baju dalam bahan makanananya,, bahkan ada yang kejam, membuat olahan makanan dari makanan atau bahan makanan yang sudah basi bahkan busuk.... Contohnya ini...
Ya nampak seperti pembantaian perlahan tanpa disadari....
Hidup memang sulit,, tapi saya yakin sesuatu yang halal akan lebih terjamin keamanan dan keberkahannya untuk dunia akhirat kita...

Selasa, 12 Februari 2013

Berbagi semangat ^^


Impian itu bagikan bangunan kokoh yang tentunya terbuat dari batu bata pilihan dan semen pilihan pula

Saya masih ingat bagaimana liku-liku perasaan hati ini...
Saat menuliskan cita-cita itu...
Saat melambungkanny kelangit harapan....
Dan saat penantian semua itu.....
Saat harus beralih profesi karena tak kunjung mendapatkan.....
Saat menangis tersedu takut kehilangan impian saya...
Saat mulai berusaha merajut mimpi ditempat lain...
Saat berusaha tabah dengan takdirNya....
Dan kini Allah menunjukkannya....
Allah tak pernah tidur.... Allah tak pernah pergi.... Ini hanya tertunda....
Alhamdulillah.... Sejengkal lagi semua terwujud.....

 ***Kalau kau punya cita-cita teguhkan keyakinan dalam hatimu... karena cita-citamu itu bukanlah sesuatu yang murah untuk kau dapatkan semua itu butuh pengorbanan.... saat ini kau belum mendapatkannya bukan berarti esok kau juga tidak mendapatkannya... tetap optimis saja...
Yakinlah,, Allah tahu bagaimana caranya semua itu akan indah pada saatnya....
Jadi mulai saat ini SOAP (Semangat Optimis Action Pray) ya!

Jumat, 01 Februari 2013

RaDaR (Resapi Dan Renungkan)

Sejak pertama membaca buku Penawar Lelah Pengemban Dakwah karangan Dr. Abdullah Azzam, jujur ada energi yang beda ada makna yang terasa berbeda. Ini salah satu paragraf yang ingin saya bagi.

"Sesungguhnya jika Allah menahanmu dari mendapatkan sesuatu, itu bukanlah karena Dia bakhil, khawatir kehilangan perbendaharaan-Nya, atau menyembunyikan hakmu. Akan tetapi itu adalah karena Dia ingin kamu kembali kepada-Nya. Dia ingin memuliakanmu dengan tunduk pasrah kepada-Nya, menjadikanmu kaya dengan faqir kepada-Nya, memaksamu untuk bersimpuh dihadapan-Nya, menjadikanmu dapat merasakan ketundukan dan kefakiran kepada-Nya setelah merasakan pahitnya terhalang dari sesuatu. Supaya kamu memakai perhiasan 'ubudiyah (ibadah) menempatkanmu dikedudukan yang tertinggi setelah kedudukanmu dicopot, supaya kau dapat menyaksikan hikmah-Nya dalam qudrah (ketetapan)-Nya, rahmat-Nya, dalam keperkasaan-Nya, kebaikan dan kelbutan-Nya dalam paksaan-Nya, dan bahwa sebenarnya tidak memberinya adalah pemberian, pencopotan dari-Nya adalah penguasaan, hukuman dariNya adalah pengajaran, ujian dariNya adalah pemberian dan kecintaan, dikuasakannya musuh-musuhmu atasmu adalah yang akaan menggiringmu kepadaNya." 

Afwan bukan bermaksud nge-pos yang melow-melow tapi ingin berbagi bahwa apapun yang terjadi dimuka bumi ini tak luput dari pengawasannya. Yakin Dia tahu kadar kemampuan kita dan yang terbaik untuk kita,,, so RaDaR aja alias Resapi dan renungkan :-) keep smile...